Merupakan adaptasi sinetron populer pada pertengahan tahun 90-an (sekaligus sinetron pertama Rapi Films) Noktah Merah Perkawinan bukanlah produk latah asal jadi memanfaatkan hype nostalgia, melainkan sebuah adaptasi yang dibuat dengan hati tanpa pernah melucuti esensi utama milik sintetronnya, bahkan sampai tulisan ini dibuat, saya dengan bangga dan berani menyebut Noktah Merah Perkawinan sebagai salah satu film Indonesia terbaik tahun ini.
Kita tentu sudah paham betul bagaimana kisahnya akan bergulir, menyoroti rumah tangga Ambar (Marsha Timothy) dan Gilang (Oka Antara) yang sudah menginjak usia 10 tahun perkawinan tengah mengalami perang dingin pasca sebulan pertengakaran antara keduanya terjadi. Atas saran sahabatnya, Dina (Nazira C. Noer), Ambar bahkan meminta bantuan konselor pernikahan, Kartika (Ayu Azhari, dalam sebuah extended cameo tepat guna), guna memperbaiki pernikahan keduanya.
Menurut Gilang, jasa tersebut dianggap tak perlu karena ia sendiri enggan membicarakan masalahnya kepada orang lain. Gilang selalu lari dari masalah, sementara Ambar merasa dirinya dipenuhi tekanan, termasuk dari sang mertua hingga kabar mengenai Gilang yang diam-diam menjalin hubungan dengan Yuli (Sheila Dara), salah satu murid lokakarya kerajinan keramik milik Ambar.
Sedari filmnya dibuka, Noktah Merah Perkawinan secara cerdik menampilkan sebuah metafora yang nantinya berhubungan dengan pengisahannya, mulai dari keramik, tanaman tanduk rusa hingga masing-masing pekerjaan mereka mewakili sifat alamiah karakternya yang secara pelan tapi pasti berhasil memberikan sebuah modernisasi yang seharusnya, tanpa pernah terasa dipaksakan.
Ditulis naskahnya oleh Titien Wattimena (Salawaku, Aruna & Lidahnya, My Sassy Girl) bersama sang sutradara, Sabrina Rochelle Kalangie (Terlalu Tampan), Noktah Merah Perkawinan mungkin bukan tipikal drama yang tampil meledak-ledak sebagaimana kerap dipakai film bertema serupa, melainkan ia adalah tipikal drama yang tampil perlan secara pelan namun menusuk kemudian, bahkan mampu meruntuhkan tembok perasaan.
Sabrina di karya keduanya, tampak lebih matang dalam melakukan penyutradaraan yang melibatkan dua sisi emosional manusia yang saling bertabrakan, sebutlah sekuen meja makan yang melibatkan sate hingga puncaknya tatkala sebuah "pertengakaran dapur" ditunjukkan. Kentara betul ia menguasai apa yang seharusnya ditangkap dan ditampilkan, walaupun itu bermula dari sebuah adegan membuka toples makanan. Semuanya tersaji secara natural.
Pun, sulit untuk tak memasukan adegan ikonik berupa momen "tampar-menampar" yang kali ini lebih masuk akal dan bahkan bak sebuah penghukuman bagi diri masing-masing, bukan sebatas menyalurkan amarah dan mencari siapa yang salah. Duet Marsha-Oka sempurna menyalurkan apa yang seharusnya ditampilkan, yang pendekatannya banyak mengingatkan saya terhadap Marriage Story-nya Noah Baumbach.
Dalam penafsirannya, Noktah Merah Perkawinan pun memberikan sebuah pemahaman logis terhadap figur "pelakor" yang dimainkan secara subtil oleh Sheila Dara, sebagaimana film-film yang berani membawa sebuah penafsiran dan perubahan belakangan ini, tak ada karakter yang benar-benar jahat maupun salah, melainkan mereka yang terjebak pada sebuah permasalahan dan jatuh hati pada orang yang salah.
Masing-masing karakter diberikan layer lebih, termasuk Bagas (Jaden Ocean) dan Ayu (Alleyra Fakhira), anak Ambar-Bagas yang juga terkena dampak dari permasalahan mereka, utamanya Bagas yang amat terpukul dan dipaksa terlihat menjadi dewasa. Momen disekolah menjadi puncak di mana Ocean mampu menafsirkan sebuah emosi mendalam di tengah dirinya yang masih tergolong dalam usia anak-anak.
Di departemen lain, scoring dan sinematografi turut berjasa menghasilkan sebuah gambar cantik dan tampil akan kaya rasa, terkadang filmnya tampil lebih sederhana dengan hanya memanfaatkan kesunyian dan membiarkan petikan-petikan piano berdenting silih berganti secara pelan, pun di momen puncak sempat pula diputar original soundtrack ikonik miliknya yang kini dinyanyikan oleh Isabel Azhari (putri Ayu Azhari), selaras dengan hal itu, Tak Terima milik Sheila Dara-Donne Maula turut menyemarakan, memberikan sebuah penafsiran yang selaras dengan kisahnya.
Konklusinya mungkin sebagian orang akan menyebutnya bermain aman, tetapi menurut saya ini adalah sebuah keputusan yang tepat, mengingat filmnya tampil lebih realistis membungkus sebuah momen penuh katarsis. Sejurus kemudian, Noktah Merah Perkawinan menutup kisahnya dengan manis sekaligus tragis, di mana perkara perihal cinta memang bukanlah sebuah hal yang sederhana, ada yang berhak bahagia dan ada yang berhak pergi begitu saja.
SCORE : 4.5/5
0 Komentar