Entah pembuka apa yang harus saya tuliskan, pikiran saya buntu, bingung hendak mulai dari mana, menyaksikan Jagat Arwah dan kemudian menuliskan ulasan untuknya adalah sebuah pekerjaan yang melelahkan. Ada perasaan percaya tak percaya mengingat filmnya berda di bawah Visinema Pictures yang selalu melahirkan film-film berkualitas, harapan saya terhadap filmnya pun demikian, sebagaimana Mencuri Raden Saleh memberikan variansi genre baru di khasanah perfilman tanah air, Jagat Arwah adalah horor sarat akan unsur fantasy dengan beragam mitologi yang jelas penuh potensi.
Pembukanya tampil mencolok, di mana sebuah epilog dengan visualisasi animasi tampil memukau, saya bak tengah menyaksikan sebuah film superhero bukannya horor. Setelahnya, sebuah adegan tampil tampak menjanjikan di sebuah museum sarat akan unsur mistisme dan sebuah guillotine ditampilkan, membawa sebuah kesan berbeda. Keinginan untuk menyaksikan hal serupa seketika runtuh tatkala Jagat Arwah perlahan mulai menampakkan sisi aslinya.
Sebelum membahasnya lebih lanjut, mari berkenalan terlebih dahulu dengan protagonis utamanya yang bernama Raga (Ari Irham), anak muda yang bermimpi untuk menjadi seorang musisi yang terkendala akibat restu sang ayah, Sukmo (Kiki Narendra) yang dengan santai menyebut Raga belum siap. Sebagaimana kebanyakan remaja masa awal umumnya, Raga jelas marah, hingga kematian sang ayah membuka sebuah fakta baru: Raga adalah wangsa Aditya ke-7.
Raga jelas menolak dan tak tahu menahu bahwa dirinya adalah sang penyeimbang jagat arwah dan jagat manusia pula pengendali batu jagat. Dibantu sang paman, Jaya (Oka Antara), Raga melakukan sebuah perjalanan dan pelatihan yang well .... sama sekali tak berguna. Perjalanan yang entah maunya bagaimana selain fakta bahwa kita sebagai penonton melihat Jaya terus memuji sang keponakannya.
Ditulis naskahnya oleh Rino Sarjono (Negeri 5 Menara, Temen Kondangan) berdasarkan ide milik Mike Wiluan (Buffalo Boys), Jagat Arwah seharusnya memberikan sebuah pengenalan bagi sang protagonis dalam masa perjalanannya, yang sekali lagi lalai dijabarkan. Pun, demikian dengan penyutradaraan Ruben Adrian yang dalam debut perdananya kurang piawai atau malah belum berpengalaman mengemas sebuah spektakel berkesan, terlebih dalam budget-nya yang sulit untuk dibilang kecil.
Padahal premis dan idenya menarik, unsur klenik, mitos hingga fantasy dikawinkan secara bersamaan. Pun kepercayaan suku Jawa mengenai sedulur papat limo pancer turut disinggung, yang hanya berakhir sebagai pernak-pernik semata, nihil kontuniti maupun kontribusi.
Jagat Arwah memiliki tiga demit yang ditampilkan secara berbeda, ketimbang keseraman, kehadirannya lebih tepat sebagai guardian. Mereka adalah Nonik (Cinta Laura Kiehl) si penyembuh, Kunti (Sheila Dara) yang memiliki kekuatan telekinesis hingga Dru (Ganindra Bimo) sang petarung. Ketiganya jelas layak diberikan kisah lebih, yang justru tak pernah disinggung oleh naskahnya yang terlampau acuh mengembangkan karakteriasi. Saya bahkan belum menyebut sosok hollow yang sempat eksis di layar sebagai salah satu antagonis film ini.
Beruntung, masih ada secercah harapan dalam pengadeganan berupa pemakaian CGI tepat guna yang jauh dari kesan artificial, yang setidaknya masih bisa memanjakan mata ditengah guliran narasi kopong miliknya. Konklusinya bisa tampil lebih gahar andaikan diberikan sebuah penebusan layak bagi perjalanan Raga dalam menemukan jati dirinya, bukannya ditutup oleh sebuah twist usang yang lagi-lagi digunakan guna menutupi sebuah kemalasan ataukah Jagat Arwah memang tak memiliki banyak bahan selain sebagai sebuah ide mentah tanpa pemikiran lebih setelahnya?
SCORE : 1.5/5
0 Komentar