Sebagaimana yang kita ketahui bahwasannya masyarakat Indonesia amat menjunjung tinggi mistisme di atas segalanya. Dari sini timbul pertanyaan: Apakah bentuk mistisme dapat mengubah atau malah mengerdilkan pikiran seseorang dari sebuah modernisasi yang hingga kini masih bahkan tengah berevolusi? Inang yang merupakan kali perdana Fajar Nugros (Yowis Ben, Srimulat: Hil yang Mustahal- Babak Pertama, Balada Si Roy) menjamah genre horor memberikan sebuah pembenaran mutlak, bahwasannya mistisme layaknya sebuah agama maupun kepercayaan pada umumnya, yang menjadi masalah tentulah datang dari penganutnya.
Ditulis naskahnya oleh Deo Mahameru (Udin's Inferno, Stone Turtle), Inang mungkin terlihat beda jika dibandingkan dengan horor Indonesia pada umumnya yang mengandalkan jump scare diatas segalanya, naskahnya terlebih dahulu bercerita yang kemudian membawa filmnya pada sebuah slow-burn horror meditatif ketimbang parade berisik. Pun, sebagaimana yang kita ketahui pada promosinya, Inang mengangkat kepercayaan Jawa yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, terkait hari rebo wekasan, yang menurut penanggalan hijriyah merupakan hari rabu terakhir di bulan safar, yang banyak diartikan pula dengah hari kesialan dan bencana.
Alkisah, Wulan (Nasyilla Mirdad), seorang kasir supermarket tengah dilanda kebingungan mendapati dirinya tengah mengandung dan sudah memasuki usia 16 minggu sementara sang kekasih, Heru (Emil Kusumo) enggan bertanggung jawab. Menurut saran Nita (Rania Putrisari), ia sebaiknya menggugurkan kandungannya, yang justru malah ditolak mentah-mentah oleh Wulan dan bersikukuh ingin tetap menjaga bayinya. Ditengah kondisi finansial yang sama sulitnya, secercah harapan muncul tatkala Wulan menemukan sebuah grup facebook yang bersedia menampung dirinya dengan imbalan akan merawat sang jabang bayi setelah lahir.
Mereka adalah pasangan orang tua, Agus (Rukman Rosadi) dan Eva (Lydia Kandou) yang semenjak kedatangan Wulan telah menunjukkan kasih sayangnya. Mudah memahami kenyamanan yang dirasakan oleh Wulan, meski sebagai penonton kita tahu bahwa ada sesuatu tersembunyi dibalik kebaikan kedua orang tua tersebut. Dari sini sebuah dramatic irony diterapkan, yang mana membawa narasinya perlahan tapi pasti menggiring penonton masuk ke sebuah rumah misteri, sebagaimana tikus yang bersamaan dengan kedatangan Wulan terperangkap dalam sebuah kurungan.
Penyutradaraan Fajar Nugros pun demikian, ia tengah bersenang-senang dengan sebuah mode waiting for impending doom yang secara cermat turut melempar sebuah semiotika maupun metafora lain (tikus, bubur, patung harimau, bunga) yang berjasa besar bagi filmnya untuk dekat ke ranah art house, meskipun beberapa diantaranya acap kali terlihat gamblang, namun itu bukanlah sebuah persoalan selama penerapannya tak salah sasaran.
Horornya sendiri berasal dari sebuah ketidaknyamanan yang sepanjang durasi perlahan disibak kebenarannya, favorit saya adalah tatkala Nugros menampilkan sebuah adegan mimpi yang tampak surealis. Tak selamanya tampil kelam, Nugros yang berpengalaman menjajal drama hingga komedi turut menyelipkan unsur kegemarannya secara tersirat, itu berasal dari deretan dialog-dialog tanpa saringan hingga beragam kata-kata umpatan yang membuat filmnya terasa dekat dengan penonton. Bahkan, Naysilla Mirdad dalam debut layar lebar perdananya pun tampak menikmati melontarkan dialog yang berkebalikan dengan citra dirinya sebelumnya.
Paruh pertama Inang adalah sebuah introduksi yang seketika menggaet atensi lewat kedekatan personalisasi masyarakat menengah ke bawah yang tampil apa adanya, menggambarkan sebuah horor dalam realita guna menunjang kehidupan yang tak selalu sesuai keinginan. Inang turut pula menyinggung perihal male gaze lewat karakter yang dimainkan secara meyakinkan oleh Totos Rasiti sebagai bos Wulan dan Nita. Sayang, menjelang pertengahan hingga akhir, unsur tersebut kian terlupakan, seakan Nugros mengambil mode auto pilot secara dadakan.
Inang adalah sebuah folk-horror yang meski kadang tak konsisten perihal pemanfaatan rebo wekasan, mampu memberikan sebuah teror berkesinambungan, teror yang tak selalu melulu berwujud setan melainkan sosok yang lebih nyata di mana kelicikan dan tipu daya kerap dijadikan senjata bagi mereka para penguasa yang berdiri atas nama 'kepemilikan'.
Di pertengahan kita sempat diperkenalkan dengan Bergas (Dimas Anggara), putra semata wayang Eva dan Agus, yang meski penampilan Dimas Anggara memang layak dipuji (terutama ketika momen konfrontasi), sedikit meninggalkan cela tatkala kehadirannya bahkan mengambil alih cerita, menjadikan karakter Wulan sebagai seorang damsel in distress setelah sebelumnya ditampilkan penuh perlawanan. Kontradiktif memang, meski tak sampai mengurangi hasil akhirnya.
Konklusinya tampil layak, meski terkadang ada sebuah potensi untuk bisa tampil lebih. Saya menyukai adegan akhirnya, meski terkait mid-credits scene miliknya bisa saja tampil sebagai pisau bermata dua (meski saya sendiri dapat dengan jelas menangkap tujuannya), Inang sekali lagi adalah horor yang cukup memuaskan dari seorang Fajar Nugros yang masih belum sepenuhnya berpengalaman. Meski terdapat beberapa kekurangan, kepekaan esensi miliknya semakin menegaskan bahwa semuanya bukan tanpa alasan, ada sebuah hukum kausalitas yang sulit untuk dijelaskan, terlebih jika sudah menyangkut kekuatan alam.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar