Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - JUDAA HOKE BHI (2022)

 

Keseraman Raaz (2002) mungkin telah luntur semenjak banyaknya horror yang menampilkan degradasi ketakutan dalam cara yang berbeda. Namun, bagi seorang Vikram Bhatt, sutradara kawakan yang rutin menelurkan tontonan horror di luar franchise Raaz, masih merasa bahwa trik tersebut dirasa ampuh. Saya sudah khatam dengan horror buatannya belakangan ini, yang seperti pada umumnya ia kerjakan, Judaa Hoke Bhi pun tak ayal merupakan satu lagi horror dengan cita rasa yang sama. Tak lebih.


Aman (Akshay Oberoi) adalah seorang penyanyi yang alkoholik. Hubungannya dengan sang istri, Meera (Aindrita Ray) kian merenggang, terlebih setelah kecelakaan yang menewaskan putra mereka. Dengan finansial yang buruk, Meera kemudian menerima tawaran untuk menulis autobiografi Siddharth Jaiwardhan (Meherzan Mazda) dan pergi ke Uttrakhand selepas mengetahui sang suami yang sudah sadar dari koma, ternyata masih mengkhianatinya dengan menyelundupkan alkohol.


Ditulis secara keroyokan oleh Mahesh Bhatt, Shwetha Bothra, Aman Puranik dan Suhrita Sengupta, Judaa Hoke Bhi memulai paruh pertamanya dengan menampilkan nomor musikal, meneruskan kebanyakan film Vikram Bhatt sebagai salah satu film dengan soundtrack yang dengan cepat gampang diterima. Poin plus ini sayangnya tak didukung oleh narasi yang mumpuni, yang keberadaannya sebatas melempar teori tanpa pernah benar-benar mengerti akan esensinya itu sendiri.


Barisan dialognya cenderung berat dan ingin terlihat tampil puitis, meski kentara sekali kesannya amat dibuat-buat demi mencapai tujuan itu. Pun, sebagaimana difilmnya kebanyakan, Bhatt memasang setting tempat nun jauh dari kota, dipenuhi salju dengan rumah mewah yang hanya dihuni beberapa orang. Sekali lagi, Judaa Hoke Bhi adalah sterotifikal film Vikram Bhatt lainnya, yang sama sekali tak memberikan sebuah perubahan.


Mengedepankan horror-supernatural, Judaa Hoke Bhi tak punya cukup daya untuk mencengkram penonton dengan kisahnya yang tak seberapa. Horror di sini hanya sebatas menampilkan sosok monster bertubuh besar yang semakin menggelikan dengan CGI artificial (monster di Creature 3D lebih baik dibanding ini). Belum lagi transisi kasar dengan adegan yang kerap tampil tak natural.


Barisan karakternya pun demikian, di buat atas dasar pelengkap tanpa pernah diberikan sebuah karakterisasi yang jelas, misalnya karakter yang dimainkan oleh Rushad Rana dan Jia Mustafa yang ujug-ujug ditempatkan di tengah cerita tanpa benar-benar terasa ada, keberdaan mereka hanyalah sebatas pembuka twist guna filmnya mengambil jalan pintas untuk menampilkan sebuah konklusi.


Benar saja, konklusinya amat menggampangkan. Sebatas terselesaikan oleh kehadiran satu tokoh lengkap dengan segala kebutuhan guna mengakhiri keadaan. Ditampilkanlah sebuah final battle antara Aman dengan sang monster yang pengadegannya amat mengandalkan CGI kurang kompeten. Pun, mengenai sebuah rules, Judaa Hoke Bhi amat cacat dalam menerapkannya, misalnya penggunaan sebuah pedang.


Menjelang akhir, Judaa Hoke Bhi melemparkan sebuah moral value yang dibuat tanpa pernah menanamnya sepanjang durasi, pesan mengenai merelakan orang yang sudah pergi sembari melanjutkan kehidupan tampil begitu hambar, sementara filmnya kebingungan dengan apa yang hendak ditampilkan. Selesai menonton, saya merasa lega, telah terbebas dari segala durjana dalam balutan film yang begitu menyiksa (of course, in a bad way).


SCORE : 1/5

Posting Komentar

0 Komentar