Sayap-Sayap Patah yang terinspirasi dari kerusuhan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok pada 8-11 Mei 2018 menandai reuni pasca 21 tahun Nicholas Saputra dan Rudi Soedjarwo selepas Ada Apa Dengan Cinta? yang sukses melambungkan nama keduanya. Mengetengahkan drama kepolisian yang juga turut menyentuh sebuah charachter driven, Nicholas Saputra memerankan Ipda Aji, anggota Densus 88 yang bersama sahabatnya, Aiptu Aryo (Khiva Iskak), Aipda Ridwan (Revaldo) dan Aipda Kuntadi (Gibran Marten) bertugas memberantas kasus terorisme yang tengah terjadi di Surabaya. Berdasarkan hal itu, tentu Aji jarang menghabiskan waktu bersama sang istri, Nani (Ariel Tatum) yang tengah hamil tua.
Ditulis naskahnya oleh Monty Tiwa (Madu Murni), Eric Tiwa (Pocong: The Origin) dan Alim Sudio (12 Cerita Glen Anggara, Mariposa, Kuntilanak 3), Sayap-Sayap Patah secara back-to-back menyajikan dua elemen tersebut secara bergantian, yang terkadang kurang seimbang dalam penuturannya. Walaupun demikian, setidaknya naskahnya mau bercerita, terlebih dalam memicu kebencian mengapa tindakan terorisme yang selalu mengandalkan agama sebagai upaya masuk surga jelas sebuah perilaku biadab nan salah kaprah. Dalam sebuah sekuen yang diiringi scoring gubahan Andi Rianto, Rudi Soedjarwo seolah mereplika kekejaman terhadap dampak yang dihasilkan, yang cukup mengahantui ingatan pasca menontonnya.
Terlepas film ini dibuat atau tidaknya dengan upaya glorifikasi (terhadap kasus Freddy Sambo yang jelas-jelas mencoreng pihak kepolisian), Sayap-Sayap Patah sejatinya merupakan sajian yang kaya potensi, di mana modal usaha nyata terhadap narapidana yang menguasai kepolisian selama 36 jam lamanya pun sudah terdengar bak siksa neraka dunia, sementara filmnya tampil lebih soft, mengganti topik yang masih tampil relevan, meski mengenai kerapian bercerita dan motif utama filmnya jelas menyalahi aturan, mengambil sebuah langkah instan yang seharusnya tak digunakan.
Sebelum ke akar permasalahannya, izinkan saya memberikan pujian khusus terhadap dua penyanyi yang diluar kapasitasnya sebagai aktor, tampil mengejutkan dan mengesankan. Tak lain dan tak bukan adalah Iwa K yang memerankan Leong, pimpinan teroris yang menjadi incaran Aji dan rekannya. Sementara di pihak kepolisian terdapat Nugie sebagai Komandan Mako Brimob sama mengesankannya, melihat keduanya berbagi layar adalah pemandangan yang sama-sama mencekam, menggambarkan sebuah kekuasan dalam kubu yang bersebrangan.
Elemen dramanya tampil cukup memikat, di mana kegamangan Nani sebagai istri seorang polisi bisa saja hancur dan remuk begitu saja, bahkan dalam sebuah kesempatan, Nani memilih untuk pulang ke Jakarta, menemui sang ibu (Dewi Irawan) dan berniat melangsungkan persalinan di sana. Sekilas tampil sederhana memang, namun hal demikian tentu bisa saja terjadi di dunia nyata.
Momen yang ditunggu tiba, yang sangat disayangkan justru tampil belakangan demi menutup sebuah penceritaan. Durasi 30 menit dihabiskan untuk merangkum apa yang terjadi di dunia nyata, yang meski harus saya akui, saya tetap terjaga menyaksikannya, meski kembali lagi ada sebuah perasaan ingin menikmati lebih yang terasa mengganjal. Terkait apa yang telah saya singgung di awal, motivasi sang teroris digambarkan secara terperinci, yang mana menyalahi apa yang seharusnya murni terjadi. Memang filmnya hanya sebatas mengadaptasi, namun bukankah sebuah adaptasi harus mewakili tanpa benar-benar menyurangi? Lihat tanda tanya tersebut jurang antara filmnya dengan keabsahan peristiwa.
SCORE : 3/5
0 Komentar