Belum lama ini nama Kimo Stamboel telah kita lihat keberhasilannya dalam memberikan nafas baru bagi Danur Universe dalam Ivanna yang harus saya akui adalah film terbaik dari semua franchise-nya. Sebagai sekuel (atau reboot, atau malah re-kuel jika meminjam istilah dari Scream) Jailangkung: Sandekala diharapkan dapat memberikan nyawa serupa Ivanna dalam memperbaiki citra franchise horror pesakitan negeri ini. Hasilnya?
Kisahnya sendiri template umum film horror kebanyakan, di mana sebuah keluarga tengah melakukan road-trip demi memperbaiki hubungan yang mulai merenggang antara Sandra (Titi Kamal), istri dari Adrian (Dwi Sasono) dengan Niki (Syifa Hadju) anak sambungnya. Liburan yang semula dicanangka seketika berubah bencana tatkala Kinan (Muzakki Ramdhan), anak bungsu mereka hilang saat matahari mulai tenggelam (baca: sandekala) di sebuah danau yang sebelumnya banyak menelan kasus serupa.
Sebelum tancap gas ke ranah horror, naskah yang ditulis oleh Kimo Stamboel bersama Renaldy Puspoyo terlebih dahulu menggiring penonton ke ranah investigasi polisi yang dipimpin oleh Majid (Mike Lucock), yang mana sebuah poin tersendiri dalam memperluas narasi. Hasilnya mungkin tak semulus dugaan karena baik Kimo maupun Puspoyo seolah terbebani dengan tugas horor and of course boneka jailangkung itu sendiri.
Harus diakui, Jailangkung: Sandekala berada dalam jalur yang benar dalam pelafalan mantra sesuai dengan yang dipakai aslinya, hanya di rubah dalam bahasa Sunda sesuai mitologi sub-judul itu sendiri. Terdapat sebuah rasa otentik tersendiri ketimbang kalimat konyol "Datang gendong pulang bopong". Pun, demi menekankan nuansa tersebut, siluet berupa langit keoranyean sesekali ditampilkan, disertai dengan seruan dan ajakan orang tua yang meminta anaknya masuk rumah menjelang maghrib tiba.
Kedekatan representasi mempermudah saya yang notabene merupakan orang Sunda untuk terkoneksi, yang mana bahkan pernah saya alami. Sayang, dalam pemaparannya, seperti yang telah saya singgung tadi, apa yang ditampilkan oleh Jailangkung: Sandekala tak semulus apa yang diharapkan ketika penceritaannya sendiri kebingungan menampilkan sebuah presisi antara satu unsur satu dan lainnya, pengawinannya kentar amat dipaksakan dan dilupakan begitu saja, meniadakan sebuah kontuniti terkait aturan jailangkung itu sendiri.
Setidaknya, Jailangkung: Sandekala masih bisa berdiri tegak kala Kimo tahu betul bagaimana membuat sebuah hiburan yang mampu membuat penonton tetap terjaga dan setia mengikuti kisahnya. Yang paling mencuri perhatian adalah keterlibatan Yoga Pratama yang selalu melontarkan kalimat sumpah serapah beserta tingkah lakunya yang mewakili kebanyakan orang Sunda. Sebuah poin plus yang mungkin hanya sebatas sampingan, namun efektif di permukaan.
Terkait gaya penuturannya, Kimo bak memberikan sebuah homage bagi salah satu pioner film slasher paling melegenda (baca: Friday the 13th) yang ia terapkan dalam pemilihan lokasi, penceritaan, senjata yang digunakan bahkan klimaksnya pun tampil demikian, dengan sesekali menjunjung nama salah satu sutradara paling kenamaan dalam genrenya, if you are a big fans of horror movie, i know you can feel it.
Sampai tulisan ini dibuat, jika berbicara mengenai Jailangkung: Sandekala tentu yang pertama membekas dalam ingatan adalah klimaksnya yang seolah mengembalikan nama Kimo Stamboel pada akarnya dan juga kecintaannya akan genre slasher sebagaimana Rumah Dara (2009) melambungkan namanya. Sekuen yang selalu akan diingat dalam menaikan intensitas filmnya, dan juga membuat seisi studio berteriak secara lantang, yang sedikit melupakan fakta bahwa baik Titi Kamal maupun Syifa Hadju ditelantarkan talenta dramatik-nya.
SCORE : 3/5
0 Komentar