Dalam sebuah adegan, kita melihat sang protagonis yang merupakan seorang asosiasi direktur CBI, Vivan Deshmukh (Gulshan Devaiah) tengah menerima telepon sembari bersantai di sofa, kamera menyorot apa yang tengah dilakukannya ialah menonton Memories of Murder-nya Bong Joon-ho. Secara terang-terangan Footfairy yang merupakan karya perdana Kanshik Varma menyatakan bahwa filmnya sangat terinspirasi oleh sang maestro, hingga terkadang lupa bahwa kecintaannya terhadap karya tersebut membuat karyanya goyah, lupa menjadi versi dirinya sendiri.
Pembukanya langsung tancap gas, kita diajak mengikuti seorang wanita yang tengah berjalan setelah turun dari kereta, melewati pinggiran rel hanya untuk melihatnya disiksa secara brutal oleh sang pembunuh yang membungkus kepalanya dengan plastik hingga tewas hanya untuk diambil kedua kakinya dan membungkusnya kedalam koper secara sengaja. Dari sini kita tahu bahwa sang pembunuh, selain mengidar foot fetish adalah seorang psikopat kelas kakap, dan tugas Vivan adalah meringkus dan mencari keberadaannya.
Berjalan sebagaimana kebanyakan film police procedural, Footfairy membawa penonton untuk tak hanya sekedar melihat kebengisan hasil sisi gelap manusia-melainkan turut andil dalam analisis kasus serta modus operandi yang dilakukan. Menarik memang, karena ini pun sama besarnya tatkala melihat rentetan korban berjatuhan-yang sayangnya terlampau jinak untuk ukuran film thriller, di mana segala macam pembantaian dilakukan secara off-screen.
Keputusan Varma mungkin dapat dimengerti mengingat ia ingin filmnya dapat dinikmati banyak kalangan, sebagai gantinya dampak psikis pun ditampilkan lewat penggambaran keadaan keluarga yang ditinggalkan tatkala mereka melepas anggota keluarganya dalam sebuah perayaan pelepasan-yang semakin menjengkelkan kala si pelaku juga turut hadir sekaligus menaikan tensi yang dibangun secara perlahan.
Ada satu tersangka yang konon merupakan dalang utama, ialah Joshua Matthews (Kunal Roy Kapur) pria pemilik restoran yang sebelum kematian korban sempat dikunjungi. Bahkan kesaksian seorang pekerja salon serta sang kekasih menguatkan bahwa Joshua adalah sang dalang utama. Semakin memuncak tatkala tetangga Vivan yang masih dibawah umur turut pula menjadi korban.
Momen tersebut tampil sarat ketegangan tatkala Vivan mulai "memancing" Joshua yang mana berakhir terlalu dini kala kecurigannya perlahan mulai memudar beriringan atas bukti yang berdatangan. Dari sini, Footfairy yang naskahnya ditulis oleh sang sutradara bersama Ashish P. Verma mulai sedikit tersendat kala lajurnya tak sekuat sang inspirasinya. Unsur romansa pun diterapkan tatkala Vivan mulai menjalin hubungan dengan dokter anak bernama Devika (Sagarika Ghatge) yang beberapa dialognya patut dipertanyakan tatkala Devika acapkali menyulut sebuah ketegangan dan lagi-lagi berakhir sebatas gertakan.
Memasuki konklusi, Footfairy mungkin tak semulus pembukanya perihal menampilkan sebuah puncak yang sesungguhnya yang sedikit melemah begitu saja kala kebingungan duo Verma dalam mengadaptasi inspirasinya (turut menambahkan David Fincher dalam sebuah homage tontonan Mindhunter). Benar konklusinya menyiratkan hal yang serupa sekaligus membuka peluang diskusi pasca menontonnya, namun jembatan menuju hal demikian terasa kurang kokoh. Footfairy layaknya dongeng "tooth fairy" yang dipelesetkan sekaligus memberikan pembenaran bahwa kejadian yang sesungguhnya bisa saja merupakan sebuah bualan? Ataukah benar sebuah kejadian yang masih berkelanjutan?. Sungguh, sebuah pertanyaan samar-samar yang sejatinya sulit untuk ditafsirkan.
SCORE : 3/5
0 Komentar