Butuh waktu sepuluh tahun untuk merealisasikan sekuel dari Negeri 5 Menara (2012) yang kala itu dibuat oleh Affandi Abdul Rachman dengan bantuan naskah dari Salman Aristo, yang sukses mengumpulkan tujuh ratus ribu lebih penonton. Kini, giliran Guntur Soeharjanto dan Alim Sudio yang menahkodai penggarapan dan cerita hasil saduran buku laris milik A. Fuadi, menandai keempat kalinya mereka reuni pasca Cinta Laki-Laki Biasa (2016), Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea (2016) dan Ayat-Ayat Cinta 2 (2017).
Ceritanya sendiri melanjutkan kisah Alif Fikri (kini diperankan oleh Arbani Yasiz, menggantikan Gazza Zubizareta) yang pasca lulus dari Pesantren hendak melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi dengan mengikuti jalur seleksi. Paruh pertamanya, dikemas cukup hangat tatkala Alif yang banyak menghabiskan waktu dengan sang ayah (David Chalik) yang selalu ada dan menemaninya, hingga ceritnya sendiri menampilkan lika-liku Alif pasca lulus dan menimba ilmu di Universitas Padjajaran (UNPAD), Bandung.
Sebelumnya, Randai (Teuku Rassya, menggantikan peran Sakurta Ginting) temannya terlebih dahulu berkuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), pun ia sempat memberikan alamat kost-nya di Bandung, yang menjadi tempat sementara bagi Alif tinggal. Saya banyak mempertanyakan relasi persahabatan antara Alif-Randai yang ketimbang harmonis, justru tampil toxic secar tidak langsung. Dalam beberapa adegan Randai gemar mengolok-olok Alif atas impiannya untuk pergi ke Amerika dan menjadi jurnalis ternama di sana, pun demikian dengan Alif yang beberapa kali meminjam komputer milik Randai dan bahkan melenyapkan data pribadi miliknya. Tidak ada ucapan permintaan maaf secara tulus dari Alif, pun sama halnya dengan Randai yang selalu meremehkan Alif.
Kesalahan dan kekurangan terbesar Ranah 3 Warna adalah perihal penulisan karakterisasi tokohnya yang sulit mendapat simpati, termasuk sang protagonis utama yang alih-alih memberikan motivasi justru sering menyulut caci-maki. Jika "man jadda wajada" jadi kata kunci keberhasilan film pertamanya, kini giliran "man shabara zhafira". Kata yang berisi pentingnya menjadi orang sabar tersebut justru banyak dipakai naskahnya untuk menampilkannya secara episodik.
Ya. Deretan konfliknya tampil formulaik dan episodik, di mana banyak menampilkan kegagalan Alif atau kemalangan yang selalu menimpa dirinya dan menyalahkan kata yang selalu menjadi andalannya tersebut. Selanjutnya,ia kembali mengerti dan menyadari apa yang dilakukannya setelah mendapat pemantik dari para karakter lain, sebutlah Togar (Tanta Ginting), Rusdi (Raim Laode) hingga Raisa (Amanda Rawless), sosok love-interest Alif.
Selain episodik, Ranah 3 Warna pun gemar menambahkan sub-plot dan mengakhirinya dengan sarat simplifikasi dan kebetulan. Sebutlah isu seputar perang Palestina-Israel dengan menyorot para penyintas di Yordania yang kehadirannya terasa dijahit paksa sebelum semuanya terjawab kala Alif, Raisa hingga Rusdi mendapat kesempatan pertukaran pelajar ke Kanada.
Secara filmis, naskah Ranah 3 Warna memang kacau. Tetapi, lain halnya dengan penggarapan Guntur Soeharjanto yang cukup kompeten dalam merangkai momen dramatik hingga komedik, meskipun terkait tone kadang tak tepat. Penggunaan CGI pun banyak dipakai sana-sini, yang meski tak sepenuhnya rapi, mampu mewaadahi visi utama filmnya.
Beruntung, para pelakonnya mampu tampil baik di berbagai linimasa, termasuk penggunaan logat bicara Maninjau yang sesuai pemakaian, juh dari kesan dibuat-buat. Arbani tampil baik, meski naskah hanya memintanya hanya untuk terus-menerus meratapi nasib. Amanda Rawless dan Teuku Rassya, pun sama halnya. MVP film ini justru dimenangkan oleh trio Rusdi, Memet (Miqdad Addausy), Agam (Sadana Agung Sulistya) sebagai teman kampus bagi Alif. Meski kembali, latar 1997 yang pada saat itu tengah memanas seolah tak terjadi apa-apa. Mungkin flmnya ingin fokus pada mimpi seorang underdog dalam menggapai mimpi dan cita-citanya.
Konklusinya mungkin gampang ditebak, sebagaimana terjadi pada film bertema serupa dengan tambahan bumbu romansa yang berpotensi membuat penontonnya terkaget-kaget. Ranah 3 Warna seharusnya bisa lebih dari sekedar kisah hidup penuh orkestrasi lagu pop layaknya jamak terjadi dalam sinetron. Pun, menilik premisnya potensinya begitu besar, sayang apa yang terjadi tak sebesar mimpi Alif, melainkan begitu ciut seperti ungkapan Raisa yang mewakili keseluruhan filmnya.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar