Sebagai film keenam dari bagian Danur Universe, Ivanna yang sebelumnya telah diperkenalkan kepada penonton dalam Danur 2: Maddah (2018) seolah memberi secercah harapan bahwa kali ini universe-nya berada dalam tangan yang tepat. Setelah Awi Suryadi dan Rizal Mantovani, kini giliran Kimo Stamboel (DreadOut, Ratu Ilmu Hitam) yang unjuk gigi, dan ya, sejauh ini Ivanna adalah bagian terbaik bahkan layak dijadikan salah satu film horror lokal terbaik (tentunya sebelum Pengabdi Setan 2 Communion tayang).
Membuka filmnya dengan latar tahun 1943, di mana seorang gadis Belanda bernama Ivanna van Dijk (Sonia Alyssa) tengah menyelamatkan bangsa inlander (pribumi) dari serangan tentara Nippon, Jepang di bawah Kolonel Matsuya (Hiroaki Kato). Tentu ada peristiwa berdarah di sana, sebagaimana yang Kimo tampilkan secara berani (dan merupakan keahliannya) dalam pembukannya. Demi menghindari spoiler, saya takkan mengungkap detail tersebut selain ini merupakan awal dari sebuah dendam bermula.
1993, Ambar (Caitlin Halderman) dan Dika (Jovarel Callum) adiknya, memutuskan untuk pindah ke panti jompo setelah kepergian kedua orang tuanya. Dengan penglihatan yang buram (low vision), kedatangan Ambar dan Dika disambut oleh Agus (Sandy William) dan ibunya, Bi Wati (Kenes Andari) pemilik panti jompo tersebut. Disana juga turut hadir Rina (Taskya Namya), pacar sekaligus perawat panti yang menyisakan Kakek Farid (Yayu Unru), Nenek Ani (Yati Surachman) dan Oma Ida (Rina Hassim) karena banyak dari mereka yang memilih pulang pada hari raya Idul Fitri, kedatangan Arthur (Junior Roberts), cucu Oma Ida pun turut menambah penghuni panti.
Malam tiba, hujan mengguyur diluar ketika Ambar mulai mencari Dika dan tanpa sengaja jatuh terperosok ke sebuah ruangan bawah tanah. Ketika menyelamatkan Ambar, Agus dan Arthur menemukan sebuah barang klasik berupa piringan musik dan patung tanpa kepala. Sebagaimana kebanyakan film horror, dari sinilah rangkaian teror bermula.
Ivanna menampilkan sebuah komparasi sarat diferensiasi yang tak dimiliki oleh film Danur Universe sebelumnya tatkala paruh utama filmnya digunakan untuk bercerita. Naskah yang masih digawangi Lele Laila akhirnya menemukan pijakan yang sebenarnya seolah ini bukan tulisan yang ia buat. Pun, dalam tuturannya, tak ada sebuah kesan pengejawantahan agama, melainkan bak sebuah antitesis meskipun latar Idul Fitri adalah wadahnya. Ada pembicaraan seputar cucu yang tak berpuasa, kakek nakal yang menyelundupkan miras di bulan puasa hingga dua insan yang saling memadu asmara di malam takbiran tiba.
Terpenting, semuanya memiliki kontuniti yang tak hanya sekedar mengisi durasi, sebagaimana banyaknya tempat menjadi saksi bisu hilangnya nyawa. Terkait urusan eksekusinya, Kimo menggunakan gaya keahliannya, di mana elemen thriller-slasher seolah merupakan kedok bagi film yang mengatasnamakan horror. Bersiaplah untuk melihat peristiwa "penjagalan" yang bak sebuah ironi di hari raya Idul Fitri.
Meskipun demikian, Kimo tetap mempertahankan ciri khas instalemen filmnya yang setia terhadap supernatural horror, itupun dalam kadar yang tepat guna dan jauh dari kesan jumpscare berisik sebagaimana gemar dilakukan pendahulunya. Sebutlah momen yang ditampilkan dalam trailer ketika sosok hantu Ivanna tanpa kepala mencoba menyerang Ambar dari belakang, momen tersebut tampil lebih sunyi dan mencekam. Hasilnya, sebagaimana yang terjadi di tempat studio saya menonton, teriakan ketakutan pun tumpah, tanpa dibarengi dengan tertawaan.
Bukan tanpa cela, adakalanya pengisahan Ivanna pun tampil lebih cerewet dengan menyebutkan segala macam peristiwa-yang untungnya tak sampai mengganggu lajur cerita. Pun, keputusan menambahkan sosok comic-relief dalam wujud tokoh Polisi bernama Yudi (Tanta Ginting) dirasa kurang selaras dari film yang semula tampil serius. Lagi pula, Ivanna bak sajian horror b-movie yang menanggalkan segala logika (pertanyaan terkait hantu kepala yang berbicara dan berjalan tentu tak perlu dianggap terlalu serius) dan murni sebagai saian over-the-top, dan itu bekerja sesuai tujuannya.
Dari segi teknis, tata kamera bidikan Patrick Tashadian (DreadOut, Ratu Ilmu Hitam, Sekte) berjasa melahirkan sebuah gambar yang tak hanya sebatas gaya, sebutlah transisi dari buram ke terang yang memfasilitasi penglihatan Ambar, atau teknik kamera over-the-body yang sekali lagi tampil tepat guna.
Menjelang akhir, sebagaimana kebanyakan film horror, tensi Ivanna semakin meningkat kala Kimo bersedia menyakiti karakternya dengan cara yang sakit sekalipun, favorit saya adalah momen yang melibatkan mobil, di mana segala kecemasan, ketakutan hingga ketegangan dilipatgandakan, terlebih sosok hantunya sendiri begitu aktif menyerang, bukan sebatas tampil lalu pergi begitu saja.
Konklusinya mungkin masih menerapkan istilah burn the witch guna mengakhiri semuanya-yang meski gampang diprediksi, setidaknya Ivanna adalah sajian yang melebihi kompatriotnya dari segala hal sekaligus menandai bahwa horor lokal pada semester kedua mulai menampakkan tajinya sampai tulisan ini dibuat. Mari kita nantikan pekembanganya!.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar