Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - GARA-GARA WARISAN (2022)

 

Gara-Gara Warisan adalah film lebaran favorit saya tahun ini (meski belum sempat menonton Kuntilanak 3, karena satu dan lain hal). Diproduseri oleh Ernest Prakasa (juga merangkap sebagai pemain disini) dan Chand Parwez Servia, ini menandai kali pertama seorang komika bernama Muhadkly Acho, yang pernah turut menulis naskah Kapal Goyang Kapten (2019) menyutradarai sebuah film (rilisan selanjutnya adalah Ghost Writer 2) pula turut menulis naskah sebagaimana telah ia jalani sebelumnya. Hasilnya serupa banyak karya Ernest Prakasa, sang mentor yang sekali lagi menambah jajaran sutradara komika yang mampu menghasilkan tontonan mumpuni (jangan lupakan nama Arie Kriting di Pelukis Hantu) dengan meracik sebuah drama-komedi yang layak untuk disambangi.


Pembukanya langsung mengenalkan penonton pada konflik utama, di mana Dahlan (Yayu Unru) bersama Salma (Lydia Kandou) dan ketiga anaknya menapaki kehidupan yang penuh problema. Terdapat masalah membumi di dalamnya semisal kecemburuan si sulung terhadap si bungsu yang selalu dimanja, si anak tengah yang dekat dengan ibu pula pikiran kolot orang tua yang mengebiri mimpi anak dengan alasan "yang terbaik". Semuanya dijejalkan secara mentah dan tanpa permisi, membuat sebuah pengenalan ini sedikit tersendat karena sulit untuk mengambil simpati.


Pasca kepergian Salma akibat kanker yang menggerogotinya, kita menyambangi kehidupan tiga anaknya yang sudah menginjak usia dewasa. Adam (Oka Antara) si sulung yang kini merupakan seorang customer service harus menjadi budak korporat demi membiayai sang istri, Rini (Hesti Purwadinata) pula anaknya. Laras (Indah Permatasari) yang berbekal kecintaannya mengurus sang ibu, mengabdikan diri di sebuah panti jompo bersama Benny (Ernest Prakasa), pria yang menunggu kepastian cintanya. Sementara Dicky (Ge Pamungkas) yang kerap dipanggil "Dede" oleh sang ayah adalah seorang musisi gagal yang banyak menghabiskan waktu mengkonsumsi narkoba bersama sang kekasih, Vega (Sheila Dara).


Ketiganya bukan sosok sempurna kala dihadapkan pada pahitnya kehidupan dan realita. Adam terbebani oleh keinginan sang istri yang ingin menyekolahkan anaknya di sekolah swasta, Laras mendapati bahwa yayasan akan segera mencabut panti akibat kesulitan investor, dan Dicky, sebagaimana banyak musisi gagal yang larut dalam adiksi narkoba masih kesulitan membenahi diri dan mimpi. Hingga tatkala Dahlan sakit dan menelpon ketiga anaknya untuk mencari pengganti dirinya sekaligus pemilik guest house yang sudah lama ia kelola, muncul secercah harapan baru.


Bukan hal yang mudah bagi mereka mengingat Dahlan menjadikan warisan sebagai perlombaan, di mana masing-masing mereka harus bergantian menjaga guest house dan kemudian para karyawan lah yang berhak menentukan siapa penerusnya. Dari sini, penceritaan mulai mengerucut dan satu sasaran, mengundang sebuah perhatian kala ketiganya mulai menampilkan strategi masing-masing.


Adam lebih menekankan pada keramahan dan pelayanan pelanggan (misalnya memberi welcome drink) sebagaimana yang selalu ia tekankan di kesehariannya sebagai customer service, Laras mengedepankan strategi promosi dengan mendaftarkan guest house pada sebuah pelayanan jasa, sementara Dicky lebih mementingkan kepuasan karyawan dengan selalu mentraktirnya makan. Ketiganya adalah strategi yang baik, terlepas dari bagaimana sang pemimpin menerapkannya, yang menjadi percuma tatkala semuanya berdiri masing-masing tanpa adanya sebuah kesatuan.


Disamping fokus tersebut, terdapat suntikan komedi memadai dan sekali lagi membumi  yang diwakili oleh para karyawan guest house. Wiwin (Aci Resti), Ijul (Lolox), Umar (Dicky Difie, yang banyak mengingatkan saya pada Ragil Mahardika) dan Aceng (Ence Bagus) berhasil mencairkan suasana kala sebuah drama mulai memanas, menjadi penyeimbang tatkala masalah semakin runyam, saya belum menyebutkan karakter Ira Wibowo sebagai Astuti, istri baru Dahlan yang menjadi penyebab Laras minggat dari rumah.


Memasuki konklusi, Gara-Gara Warisan mulai menampilkan strata drama miliknya yang semakin meninggi, yang bagi saya dan kebanyakan penonton kebanyakan bak penggabungan dari Nanti Kita Cerita Hari Ini (2020), Sabtu Bersama Bapak (2016) dan Cek Toko Sebelah (2016). Peleburan ketiga film tersebut sangat kentara di tangan Muhadkly Acho. Memang, bukan sebuah keputusan yang sepenuhnya salah dan haram, hal tesebut wajar-wajar saja mengingat eksekusinya pun berbeda.


Ada sedikit keluhan mengenai cara penangan Acho dalam mengemas momen puncak tersebut yang dibarkan saling tindih-menindih, seolah tiada ruang gerak bagi keluasan bercerita di mana deretan konflik dipasang pada waktu yang bersamaan. Meskipun demikian, Acho bukanlah sutradara yang buruk, ia piawai dalam menangkap dan memanfaatkan ensembel para pemain dalam mengolah emosi, membentuk sebuah degradasi dan keintiman yang terasa nyata adanya.


Walaupun keputusan tersebut tepat, tetap bukan berarti sepenuhnya dieksploitasi, tak jarang ada perasaan canggung pula perpindahan kasar atau momen penting yang lama tampil panas, yang sesekali berakhir terlalu dini disaat penonton mengharapkan sesuatu yang lebih ketika sebuah potensi terbuka begitu lebar.


Semua keluhan tersebut menjadi kerdil tatakala sebuah adegan menampilkan kepiawan akting Yayu Unru yang heart-breaking, disamping sebuah pesan penting dan sekali lagi membumi (ini alasan mengapa filmnya amat begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari). Tak ada sebuah pembenaran bagi orang tua yang melakukan kesalahan (mengeliminasi sebuah justifikasi yang kerap dilakukan film serupa) karena pada dasarnya orang tua juga manusia. Pun, tak ada kebencian mendalam yang berhak dilakukan oleh anak terhadap orang tua. Semuanya pernah melakukan salah. Inilah poin utama dari Gara-Gara Warisan yang seperti salah satu dialognya sampaikan, bahwa warisan bukan hanya perihal pembagian, melainkan penyatuan.


SCORE : 3.5/5

Posting Komentar

0 Komentar