Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - FIREBIRD (2021)

 

Didasarkan pada memoar Sergey Fetisov, The Story of Roman, Firebird yang merupakan debut bagi sutradara Peeter Rebane mengetengahkan romansa cinta terlarang sarat injeksi Brokeback Mountain (2005) dalam kondisi perang dingin Uni Soviet yang menganggap kegiatan homoseksual adalah perbuatan menjijikan dan memalukan, sebagaimana tertera pada Pasal 154A KUHP, dengan ancaman hukuman lima tahun penjara dikamp kerja paksa, utamanya bagi mereka yang merupakan prajurit atau letnan militer.


Tengah menghitung hari dalam masa akhir dinas militernya, Sergey Serebrennikov (Tom Prior) ditunjuk sebagai asisten bagi Letnan Roman Matvejev (Oleg Zagorodnii), pilot pesawat tempur yang baru saja tiba di pangkalan. Pertemuan pertama mereka terjadi secara tak sengaja ketika Sergey hendak mengambil gambar bagi dua temannya, Volodja (Jake Henderson) dan Luisa (Diana Pozharskaya) yang berakhir dengan bergabungnya Sergey dalam pengambilan gambar yang diambil oleh Roman. Singkatnya, seiring waktu bergulir, keduanya sama-sama memiliki kesamaan akan fotografi.


Dengan setting akhir 1970-an (dan awal 1980-an tentunya), Firebird yang ditulis naskahnya oleh Rebane dan Prior (turut merangkap sebagai pemain dan produser) menjadikan ketakutan situasi dan perasaan dalam sebuah peleburan yang membingungkan. Benar, mereka adalah seorang pria dengan maskulinitas tinggi, namun tatkala mengutarakan perasaan dan cinta bak hadir sebuah tembok besar yang menghalangi keduanya antara batas tabu dan rindu. Ketika Sergey dan Matvejev bersembunyi dari penjaga perbatasan, ciuman pertama pun mendarat setelah sebelumnya banyak dihabiskan dalam aksi saling tatap yang sarat akan keintiman. Rebane tahu betul bagaimana memanfatkan dan menempatkan hal ini.


Ketika keduanya saling mencurahkan hasrat, bukan sebuah kesan vulgar yang didapat, melainkan tangkapan sarat alegori di mana seragam yang ditanggalkan memberikan sebuah penelanjangan bagi rasa dan cinta yang mendalam. Sejenak mereka melupakan aturan dan dogma yang membuat keduanya sulit untuk berbagi asmara. Meskipun setelahnya jurang besar bernama realita siap untuk memberikan sebuah fakta.


Ketimbang berbicara, Firebird lebih tertarik untuk mengembangkan rasa dengan membiarkan gambar seutuhnya bercerita, mengeliminasi fatwa bahwa hal ini hanya bisa dilakukan oleh film bernuansa arthouse saja. Secara subtil, kamera hasil bidikan sinematografer asal Estonia, Mait Maekivi menghantarkan sebuah keindahan bagi perjalanan keduanya, sekaligus mewakili perasaan. Sebutlah sebuah adegan yang menangkap keintiman dari belakang gua atau kala pertemuan kembali Sergey dan Roman di mana mereka saling sapa di hadapan dinding retak seismik yang menanadkan hubungan yang rusak dan retak.


Konfliknya sendiri kebanyakan tampil bergejolak yang datang dari sebuah kecemburuan atau aksi saling tutup-menutupi kebenaran dengan kebohongan. Terkesan oldskull memang, namun itulah yang membuat saya tetap memberikan atensi dan enggan memalingkah pandangan dari layar. Adakalanya juga Firebird menyentuh ranah yang membuat penonton dibuat harap-harap cemas, sebutlah adegan ketika Mayor Zverev (Margus Prangel) mencurigai hubungan keduanya-meskipun pada akhirnya berakhir begitu saja.


Unsur historisnya mungkin tak terlalu dominan, karena pada dasarnya ini adalah kisah mengenai insan yang terpinggirkan secara perasaan demi menjaga nama martabat dan jabatan. Beberapa kali unsur tersebut saling ditabrakan-yang menghasilkan momen tak seberapa kuat, meski beberapa diantaranya mampu bekerja sesuai kebutuhan dan efektif. Momen pernikahan dan meja makan misalnya.


Ketika paruh pertama banyak dijadikan sebagai bahan observasi, paruh keduanya tersendat kala narasi mengambil langkah sarat simplifikasi (dengan menerapkan korelasi waktu melompat) seolah tiada jalan lain untuk membuka dan memulai kembali sebuah penceritaan. Tak sepenuhnya kacau-dan kembali menyuguhkan satu lagi momen cukup emosional, ketika dua orang yang saling kehilangan cinta berbagi rasa dan amarah.


Tom Prior dan Oleg Zagorodnii menampilkan sebuah chemistry kuat dalam memainkan "asmara terlarang", tanpa keduanya, Firebird mungkin takkan berjalan sebagaimana mestinya, meski keputusan untuk tampil universal dengan membiarkan tokohnya berbicara bahasa Inggris dengan aksen asal negara masing-masing (Ukraina, Rusia) bak upaya keterpaksaan merangkul sebuah kesatuan.


Firebird sendiri merujuk pada sebuah pertunjukan balet karya Stravinsky, di mana ini adalah ajakan Roman terhadap Sergey yang belum pernah menyaksikannya. Konklusinya hendak menekankan makna tersebut, meski rasa Call Me By Your Name (2017) dan Portrait of a Lady on Fire (2019) sulit untuk dihindarkan, ending-nya adalah versi sederhana dari dua masterpiece tersebut, lengkap dengan kamera yang menggunakan teknik close-up, seolah membenarkan bahwa penindasan, pembebasan, dan kehilangan adalah bagian yang mengisi kehidupan.


SCORE : 3.5/5

Posting Komentar

0 Komentar