Jika Titisan Setan (2018) adalah rip-off bagi film India, Ragini MMS (2011), maka selaku sekuelnya, Titisan Setan 2: Chapter Two adalah rip-off bagi Stree (2018). Entah kebetulan atau tidak, menyadur atau sekedar plagiarisme, nyatanya kemiripan plot cerita tak bisa dihindari. Baik Baim Wong maupun Jeff Smith jelas kalah telak personanya oleh Rajkummar Rao (kedua film yang disebutkan diatas dimainkan olehnya). Pun, penyutradaraan Agusti Tanjung (dikenal sebagai sutradara dan penulis film lawas seperti Godain Kita Dong, Pencet Sana Pencet Sini) tak sebaik Amar Kaushik (sutradara film Stree) yang menyatukan horror-komedi dengan sentuhan relevansi yang begitu mumpuni.
Rico (Jeff Smith) adalah penjahit yang begitu terkenal berkat kerapian dan kecepatan menjahitnya, bahkan ia bisa mengukur ukuran baju tanpa menggunakan meteran. Suatu hari tatkala ia hendak menutup tokonya, dating seorang wanita misterius bernama Shinta (Steffi Zamora) secara tiba-tiba dan minta dibuatkan gaun. Berawal dari sana, Rico perlahan menyimpan perasaan terhadap Shinta yang bahkan tak memiliki ponsel dan gemar mengajaknya ke tempat sepi di malam hari.
Hendak dijadikan layaknya Shraddha Kapoor, kehadiran Steffi Zamora sebatas hadir untuk melengkapi cerita dengan screen-time yang tak begitu banyak di mana naskah yang ditulis oleh Atok Suharto (Bukit Berdarah, Jaka Sembung dan Dewi Samudra, Putri Kuntilanak) turut menceritakan pertemanan Rico dengan sahabatnya, Andi (Bryan Andrew), Donny (Vicky Kalea), dan adik dari Donny, Dinda (Maura Gabrielle) yang kurang digali kala filmnya hanya menampilkan mereka sebatas nongkrong, pun tatkala selipan teror diterapkan transisinya amat berantakan.
Saya menyukai bagaimana Tanjung menampilkan teror secara misterius sebagaimana ditampilkan pembukanya yang memancing ketertarikan meski dalam penggarapan medioker, kamera sebatas menyorot kaki sang hantu serta ceceran darah yang ditinggalkan setelahnya. Sayang, menuju adegan berikutnya, semuanya gagal terulang kala diselipkan dengan aturan nyeleneh seperti melepas sepatu dan menempatkanny di pipi. Terdengar sangat cringey bukan?
Berniat mempadu-padankan horror dengan komedi berujung tampil asik sendiri yang mayoritas kemunculannya melibatkan karakter Boim (Ananta Rispo) dengan lawakan dan kehadirannya yang tiba-tiba sulit mengundang tawa, malah menambah kebobrokan filmnya yang entah maunya apa? Salah satu aturan main untuk mengalahkan sang entitas adalah dengan memotong rambutnya yang lagi-lagi hasil contekan dari Stree tanpa pernah mengindahkan penceritaan.
Beberapa jumpscare-nya berpotensi tampil baik meski dengan penangan medioker yang mana lagi-lagi gagal tersaji karena kelemahan Tanjung menyematkan sense-of-urgency termasuk diantaranya adalah tatkala final-act diterapkan yang berlalu begitu saja tanpa pernah benar-benar terasa, turut dirusak oleh scoring yang memekakan gendang telinga pula kematian yang ditampilkan secara off-screen tanpa pernah berusaha menekan kapasitasnya.
Konklusinya mungkin berakhir prematur dengan selipan twist yang sebatas mengejutkan tanpa pernah berusaha melakukan sebuah pembangunan. Ini sama halnya dengan keluhan saya terhadap color-grading-nya yang terlalu gelap seolah-olah film horror identik dengan pencahayaan minim dan gelap. Sungguh sebuah anggapan yang salah kaprah, sementara filmnya kerap kehilangan arah.
SCORE : 1/5
0 Komentar