Salah satu hal menarik dalam Bangkitnya Mayit: The Dark Soul adalah menjadikan latar budaya Sunda sebagai salah satu unsur utama di mana lantunan musik karinding selalu terdengar yang membuat saya seolah hanyut dalam kesederhanaan miliknya. Setidaknya itu secercah poin positif dari film ini sebelum ulasan ini sedikit mengandung unsur caci maki pasca membuang waktu 86 menit yang begitu berharga ini.
Alkisah, akibat sebuah wabah yang melanda, sebuah dusun terpencil hanya berisikan beberapa orang saja dan memulai tatanan hidup baru dengan Didin (Diky Candra) sebagai kepala dusun. Salah satu anggota masyarakatnya adalah Sumi (Endah Pitasari) yang bersama sang suami, Koswara (Clift Sangra) melakukan sebuah pesugihan di Ringin Lawang. Hasil dari pesugihan tersebut ialah dengan mendapatkan Imas (Rachel JKT48) yang mereka rawat sedari bayi.
Kematian Sumi yang diduga dibunuh oleh Imas membuat warga geger antara percaya dan tidak percaya, meskipun Koswara bersikukuh Imas membunuh istrinya. Kematian semakin sering dan mereka menganggap bahwa Imas adalah penyebabnya, akibatnya Imas dipasung secara paksa disebuah gubuk. Menganggap bahwa semuanya akan selesai nyatanya malah membuat teror mistis semakin intens.
Dimuali dengan begitu tergesa-gesa di mana belum sampai tiga puluh menit durasi tiga karakter mati dalam rentang waktu semalam dengan mengenyahkan build-up yang seharusnya bisa menambah bobot narasi, Bangkitnya Mayit: The Dark Soul menganggap penonton sudah pintar dan yang perlu dijejalkan adalah barisan kematian dan penampakan serampangan yang begitu tampil menjemukan tatkala riasan Nyai Danan Wati (Alda Agustine) kentara artificial dengan gempuran CGI murahan.
Menyusul setelahnya adalah scoring yang begitu annoying di mana rentetan teriakan dijadikan andalan. Ini adalah bentuk siksaan terhadap telinga, mata dan pikiran di mana kekeliruan akan cerita begitu memusingkan dan seolah tak perlu dilakukan. Apa perlunya dendam jika tumbal telah diserahkan? Jika ingin melakukan permintaan mengapa repot-repot melibatkan orang lain (di sini diperankan Yati Surachman) alih-alih dilakukan oleh yang membutuhkan? Tak ada alasan yang jelas dan jawaban yang sepadan selain ini adalah bentuk kelalaian dan ketidakmampuan Koko BZ selaku penulis naskah.
Selaras dengan hal tersebut adalah penyutradaraan Brama Yudha Prawira yang mengejawantahkan naskah buruk dengan eksekusi yang buruk pula. Tak terhitung adegan yang begitu cringe yang kebanyakan dilakukan oleh semua pemerannya termasuk Teuku Rifnu Wikana sebagai Ujang yang kebagian getahnya tatkala karakterisasinya begitu dangkal dan sebatas melakukan kebodohan demi kebodohan, ambil contoh tatkala dirinya jatuh sakit dan adegan selanjutnya kontras bertolak belakang. Zacky Zimah sebagai Gugun adalah karakter yang paling bermoral namun sarat inkonsistensi, sementara Rachel JKT 48 yang namanya terpampang sebagi pemeran utama kemunculannya tak begitu banyak selain hanya ditugaskan untuk berteriak dan memohon-mohon dengan rengekannya yang terkesan dibuat-buat.
Sudah barang tentu dalam horror medioker masa kini adalah menampilkan sebuah twist sebagai jalan pintas bagi terciptanya konklusi. Twist yang begitu basi ini diperparah oleh adegan yang semakin tak terarah, terlebih kala melibatkan karakter pemuka agama (baca: ustadz) yang kehadirannya patut dipertanyakan kala tampil dalam sebuah adegan yang melibatkan bubuk kopi didalamnya. Niatnya ingin menciptakan deus-ex-machina, namun yang tercipta adalah sebuah karya penuh cela.
SCORE : 0.5/5
0 Komentar