Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - FEAR STREET PART TWO: 1978 (2021)

Fear Street Part One: 1994 membuka jalinan pengisahan dengan cukup menyenangkan kala memberikan sebuah kepedulian bagi karakternya pula nostalgia akan horror tahun 80-90-an. Sekuelnya (atau lebih tepatnya prekuel karena settingnya sendiri berjalan mundur) membawa unsur formulaik berupa kemah musim panas yang sangat populer pada masanya. Masih menyadur dari seri buku karangan R. L. Stine, 1978 mungkin tampil lebih brutal, meski pada dasarnya terlalu dipaksakan sebagai jembatan bagi film selanjutnya (pula korelasi karakternya).


Melanjutkan film pertamanya di mana Deena (Kiana Madeira) dan adiknya, Josh (Benjamin Flores Jr.) mendatangi rumah C. Berman (Gillian Jacobs) sang penyintas tragedi di Camp Nightwing sekaligus orang yang mengatakan bahwa kutukan Sarah Fier sulit untuk dilumpuhkan. Kedatangan Deena dan Josh ialah untuk mencari jalan keluar bagi Sam (Olivia Scott Welch) yang kini dirasuki arwah sang penyihir.


Mundur 16 tahun dari setting film pertamanya, 1978 mengetengahkan asal-muasal kejadian yang terjadi di Camp Nightwing pada musim panas, saat para remaja Shadyside dan Sunnyvale tengah mengikuti kelas kemah. Alur flashback tersebut menampilkan Ziggy Berman (Sadie Sink) yang tengah mengalami perundungan oleh Sheila (Chiara Aurelia) yang menuduh Ziggy mencuri pula dirasuki arwah Sarah Fier. Ziggy digambarkan sebagai remaja yang meledak-ledak mewakili figur remaja yang kerap disalahartikan oleh orang tua alih-alih memahami jalan pikirannya.


Berbanding terbalik dengan sang kakak, Cindy Berman (Emily Rudd) yang melakukan konformitas demi terlihat sebagai orang Sunnyvale (lebih terlihat tenang dalam balutan kaos polo). Keduanya memang berisitegang pula saling bersebrangan. Meskipun demikian, terdapat sebuah kepedulian yang sulit diungkapkan masing-masing, termasuk kala bahaya mengintai kamp mereka yang menjadi tragedi pembunuhan berantai.


Ini semua bermula tatkala Suster Mary Lane (Jordana Spiro) yang berperangai baik menyerang Tommy (McCabe Slye), kekasih Cindy dengan alasan bahwa Tommy adalah pembunuh selanjutnya yang dirasuki Sarah Fier. Tentu, ini hanyalah permulaan bagi sebuah film horror yang seperti kita tahu tidak akan berjalan baik-baik saja.


Seperti yang telah saya singgung, 1978 berhasil perihal memanfaatkan situasi sempit dengan menekankan pada sebuah pembantaian yang brutal (yang mana gagal ditampilkan oleh pendahulunya) dengan jumlah korban yang berkali-lipat, termasuk para anak-anak, yang meski ditampilkan secara off-screen setelahnya terlihat jelas apa yang terjadi dengan ceceran darah pula mayat yang bergelimpangan. Pemandangan tersebut jelas lebih menakutkan.


Masih ditukangi oleh Leigh Janiak yang turut serta menulis naskahnya bersama Zak Olkewicz, 1978 masiih membawa nama Sarah Fier sebagai dalang utama, yang kali ini mungkin sebatas tempelan semata mengingat ini adalah film keduanya (nantinya akan dibahas secara lebih di 1666). Persentasinya mungkin terlihat minim, kekurangan kontribusi sebagai penyokong film pertama. Pun, ini bisa dipahami, mengingat kala masa produksinya yang dilakukan secara back-to-back dalam penggarapan triloginya pula tadinya ini takkan disutradarai oleh Janiak (produksinya dikerjakan terakhir setelah film ketiga selesai).


Deretan karakternya mungkin terbilang variatif, mewakili beragam keresahan para remaja pada umumnya yang terjerat kasus pencarian jati diri dan menumpahkan segalanya pada seks, narkoba pula identitas masing-masing. Salah satunya adalah Alice (Ryan Simpkins) yang menerima keburukan warga yang melekat pada Shadyside. Sedikit tambahan bumbu romansa antara Ziggy dan Nick Goode (Ted Sutherland) adalah elemen yang paling tidak bekerja pula kurang akan adanya koherensi, mengingat pada film pertamanya, dua karakter ini begitu dirahasiakan.


Nantinya, Ziggy dan Cindy akan memegang penceritaan, yang mana saya harapkan adalah korelasi keduanya yang benar-benar sesuai dugaan. Interaksi keduanya (dari benci jadi peduli) terlampau menggampangkan, yang mana kepentingan selanjutnya otomatis berkurang. Ini mungkin membuat konklusinya kurang membekas, meskipun pemakaian slow-motion ditekankan. Setidaknya, scoring gubahan Marco Beltrami (I, Robot, World War Z, Knowing) dan Brandon Roberts (The Woman in Black, Logan, A Quiet Place) memberikan ketegangan yang diluar jangkauan.


SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar