Asih (2018) memang bukanlah tontonan superior, setidaknya ia adalah tontonan yang paling baik dari kompatriotnya di waktu itu (termasuk didalamnya Danur 3: Sunyaruri yang andai di rilis pada selang waktu tersebut). Kedekatan representasi memudahkan saya mengamini apa yang terjadi, demikian dengan pendekatan Awi Suryadi yang jelas mengalami perubahan signifikan. Ialah Rizal Mantovani (Kuntilanak, Tembang Lingsir, Rasuk 2) yang kali ini meneruskan film kelima dari seri Danur Universe, yang jika dibandingkan dengan film pendahulunya, Asih 2 adalag spin-off yang kurang bertenaga (sekaligus merusak gendang telinga).
Mengambil setting enam tahun pasca film pertama, Asih 2 adalah kisah mengenai dokter Sylvia (Marsha Timothy) yang menangani seorang pasien anak kecil korban tabrak lari di tengah hutan. Anak tersebut tak memiliki keluarga dan katanya hanya tinggal seorang diri di dalam hutan. Merasa kasihan, Sylvia pun mengadopsi anak tersebut dan menamainya Ana (Anantya Rezky) yang disinyalir bisa mengobati kerinduannya terhadap sang putri yang meninggal pada empat tahun silam.
Ana kemudian dikenalkan kepada Razan (Ario Bayu), suami Sylvia yang semula menolak keinginannya untuk mengadopsinya, yang seketika luluh karena Ana dapat membuat Sylvia bahagia, itupun ia lihat sendiri kala Sylvia dengan sabar merawat Ana yang tak bisa berbicara. Tentu, kebahagiaan dalam film horor takkan berjalan lama, bersamaan dengan datangnya Ana ke rumah Sylvia, sosok mengerikan turut ikut mengincarnya, siapa lagi kalau bukan Asih.
Pembukanya memberikan penjelasan sekaligus jembatan bagi film sebelumnya, di mana pada menit awal kita sempat melihat rumah Andi (Darius Sinathrya) dan Puspita (Citra Kirana) hanya untuk mendapati keduanya tewas mengenaskan ditangan Asih yang mengambil anak mereka. Sementara ibu Andi (Marini Soerjosoemarno) berujung depresi dan mendekam di rumah sakit jiwa. Bisa ditarik kesimpulan bahwa Ana adalah Amelia.
Asih 2 sebenarnya mempunyai potensi yang dapat digali lebih dalam lagi andai naskahnya yang masih ditukangi oleh Lele Laila memberikan sebuah kisah memadai, bukan sebatas memberikan tempelan sebagaimana yang gemar ia lakukan. Paruh awalnya berjalan pelan, yang otomatis dijadikan pondasi cerita yang terlalu sesak dipadatkan. Akibatnya, apa yang terjadi setelahnya adalah kekosongan yang tak memiliki alasan selain ajang pamer penampakan Asih yang menghantui keluarga Sylvia, tentunya bersamaan dengan lagu Indung Indung yang semakin getol dinyanyikan.
Bukan oleh Asih saja, praktis karakternya pun memikirkan dan menyanyikan lagu Indung Indung sebagai alasan supaya filmnya dapat mengaitkan benang merah dengan ibu Andi guna untuk mendapatkan jawaban kosong dan (sekali lagi) penampakan Asih. Memang, kehadiran Asih tak se-narsis di Danur: I Can See Ghosts (2017), tapi terkait urgensinya sendiri sama sekali kosong, nihil keseraman akibat ketiadaan momentum sepadan.
Dari sekian keseraman, terhitung satu adegan yang menyeramkan, itupun sudah dibocorkan oleh trailer-nya yang turut melibatkan mobil di dalamnya. Sisanya, bersiaplah untuk mendapati lagu Indung Indung yang terus dieksploitasi, seolah dimaksudkan untuk menutupi kekosongan pondasi. Belum cukup, persiapkan telinga dan mata anda untuk menyaksikan sebuah adegan menggelikan, puncaknya adalah tatkala menjelang klimaks di mana baik Asih maupun Sylvia berlomba-lomba menarik tangan Ana, sembari menerikan kalimat "ANAK SAYAAA!!!". Sungguh memprihatikan ditengah fakta bahwa keduanya tak layak mengaku hal demikian.
Secercah harapan datang tatkala turut diperkenalkannya Mak Ipah (Ruth Marini), tetangga Sylvia yang mempunyai hubungan personal dengan Asih semasa hidupnya. Dari sini, kita turut melihat masa lalu Asih yang belum pernah dijelaskan (meski untuk pembaca novel buatan Risa Saraswati bukanlah hal asing) yang sebatas tampil sambil lalu dan dilupakan begitu saja. Satu hal yang membekas di ingatan adalah riasan tak meyakinkan dari wajah Ruth Marini beserta wignya Ario Bayu yang begitu mengganggu.
Pun, demikian dengan sosok Asih yang tak se-menyeramkan tatkala di film sebelumnya, yang dilakukan disini adalah sebatas menaburkan bedak setebal-tebalnya hingga soflens dan kuku panjang yang jelas terlihat begitu murahan. Beruntung, performa Marsha Timothy mampu menjadi tendensi kuat ditengah materi filmnya yang seharusnya tak dilakoni oleh aktris pemenang Piala Citra bersama barisan jajaran aktor menjanjikan di dalamnya.
SCORE : 2/5
0 Komentar