Tiba kita pada penutup dari trilogi Arwah Tumbal Nyai, yang mengalami kendala perilisan akibat pandemi (semula dicanangkan tayang pada 9 April dan kemudian dijadwalkan ulang pada 3 Desember seiring dibukanya kembali bioskop, dan kini bisa disaksikan melalui Disney Plus Hotstar). Masih disutradarai oleh Arie Azis dan Aviv Elham selaku penulis naskah, anda pasti tahu betul bagaimana Tumbal akan berjalan, yang terpaksa saya saksikan karena terlanjur mengkuti dua film terdahulunya yang luar binasa itu.
Kisahnya sendiri mengenai Dewi (Dewi Perssik) yang selalu sial dalam masalah percintaan. Ia seharusnya menikah dengan Erik (Bertrand Antolin) yang tewas mengenaskan pada saat melamarnya. Kini, ia tengah menikmati bulan madu bersama Arya (Angga Wijaya), berharap kejadian serupa tak terulang kembali. Malang bagi Dewi, Arya pun meninggal bersimbah darah dipangkuannya. Jangan tanya bagaimana kedu pria itu tewas, kalau hanya untuk melihat sebuah kematian menggelikan yang nihil kreativitas, mereka diseret hantu, dan apa yang didapat adalah simbahan darah yang tak menanggalkan bekas cengkraman. Lantas di mana sumber darah sebenarnya?
Setelahnya, kita melihat Dewi memainkan sebuah kaset vinyl, menyetel lagu Cublak-cublak suweng, yang seperti kebanyakan film horor lakukan pantang untuk dimainkan. Jika tak boleh dimainkan, untuk apa menyimpannya ditumpukan kaset alih-alih menyembunyikannya? Sebuah keputusan bodoh yang setelahnya disusul oleh kebodohan karakternya (pula naskahnya) membuka sebuah rahasia (clue: foto Nenek) yang membuat performa Yama Carlos sebagai Dimas mati kutu setelahnya.
Ini mengingatkan saya kembali pada Arwah (2018) yang benar-benar ngawur dalam pengerjaannya, meski menyebut Nyai (2018) sebagai yang paling mendingan adalah sebuah keterpaksaan. Tumbal dipenuhi oleh lubang demi lubang logika yang sebatas mengantarkan penonton pada sebuah momen yang sontak memancing kalimat kasar setelahnya. Naskahnya enggan disebut bodoh, dan melalukan hal sok pintar, seolah berkaca pada sebuah kalimat "untuk apa melakukan cara mudah kalo rumit saja ada". Sungguh membagongkan menjengkelkan.
Sama seperti pendahulunya, selain kebodohan naskahnya, hal paling dominan terjadi adalah penampakan hantunya yang terlampau eksis dengan riasan buruk seolah RA Pictures tak mampu memberikan dana lebih pada aspek ini. Elemen misterinya dieliminasi dan itupun tampil menggampangkan. Sebatas mencari jawaban yang sama sekali kuno dan sudah tak perlu lagi dijelaskan, karena sebelumnya sudah lebih sering disinggung oleh karakternya yang masing-masing tampil membosankan.
Nantinya, pencarian jawaban yang dilakukan Dewi tak lepas dari bantuan Ivan (Evan Sanders) yang semenjak kemunculan perdananya tampil misterius, saya bahkan menanyakan siapa sebenarnya dan apa perlunya kehadirannya selain sebatas pelarian terakhir Dewi dalam menyelesaikan masalah. Toh ujung-ujungnya karakternya sendiri terlupakan begitu saja.
Ini adalah jawaban dari pertanyaan paling penting. Apa hubungan Tumbal dengan dua film pendahulunya? Jawabanya tak memberikan kejelasan lebih selain sama-sama memiliki satu benang merah yang dipaksa berhubungan. Lagipula, apa yang ditawarkan ketiga filmnya adalah sebuah keterpaksaan dari keputusan menghasilkan penghasilan (you know what i mean).
SCORE : 0.5/5
0 Komentar