Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - TIME (2020)

 

"Desperate people do desperate things". Demikian ujar Robert Richardson dalam salah satu adegan yang menjelaskan alasan mengapa dia bersama sang istri, Fox Richardson di penjara. Setelah menikah pada tahun 1997, mereka menjalankan bisnis pakaian hip-hop yang berujung gulung tikar. Putus asa, mereka merencanakan sebuah perampokan bank, dengan dukungan sang sepupu yang tak pernah dijelaskan. Fox menyetir, sementara Robert menjalankan misi. Akibat perlakuan ini, Robert dijatuhi hukuman penjara selama 60 tahun tanpa syarat, sementara Fox menjalani hukuman selama tiga setengah tahun.


Disutradarai oleh Garrett Bradley, yang berhasil membawanya memenangkan penghargaan penyutradaraan dokumenter dalam ajang Sundance Film Festival sekaligus sebagai sutradara wanita Afrika-Amerika pertama yang meraihnya. Berbekal sapuan warna hitam-putih dalam balutan dokumenter rumah, Bradley menyampaikan sebuah pemahaman sederhana lewat satu keluarga akan pentingnya waktu yang telah mereka lalui pula sesali keberadaannya.


Pembukanya menampilkan Fox Rich yang tengah membenarkan kamera, mencari sudut yang tepat untuk mengambil video kesehariannya, yang pada saat itu tengah bersama salah satu putranya, Laurence, sementara dalam perutnya menanti dua anak kembar. Ia berbicara lirih dengan sedikit nada bahagia sembari memamerkannya kepada sang suami yang entah kapan menemuinya.


Dalam pemahamannya, Time berlangsung selama tiga minggu sebelum kebebasaan Richard yang mencakup waktu begitu luas. Fox meminta sebuah perhatian, bukan belas kasihan yang menjauhkannya dari kesan dramatisasi berlebih. Kita melihatnya menghubungi pengacara guna meminta banding terhadap sang suami, yang justru berakhir pada sebuah keadaan nihilis. Sembari melanjutkan hidup, penonton pun turut larut dalam kehidupannya, bahkan ikut merasakan keprihatinannya.


Anak kembar yang dalam kandungan waktu itu kini telah dewasa, mereka bernama Freedom dan Justus. Tentu bukan sembarang nama saja jika ditilik lebih dalam, keduanya memiliki arti tersendiri bagi Fox, yang mengharapkan sebuah kebebasan (freedom) sang suami dan keadilan (justice) dari negeri yang dikuasai oleh para kulit putih ini. Sementara mereka hanya manusia biasa yang selalu bersama (just us) dalam pahit dan manisnya kehidupan selama kurun waktu yang sudah ditentukan.


Waktu secara pelan tapi pasti mulai menampakan wujudnya, kedua anak kembar itu telah dewasa, mereka adalah mahasiswa dengan sejuta prestasi. Salah satu adegan yang mengharukan tatkala keduanya ditanya sebuah pertanyaan, "Apa cita-cita kalian?", dengan tenang dan penuh harapan mereka menjawab, "ingin meringankan beban sang ibu". Sampai tulisan ini dibuat, saya masih terngiang akan kata tersebut dan sungguh sebuah momen yang akan meruntuhkan tembok perasaan, menyusul setelahnya adalah sebuah montase video dari rekaman rumah yang menampilkan mereka memasang gambar sang ayah di sebelah pintu.


Time tampil tanpa urusan untuk menghakimi, pun setelahnya kedua manusia (juga kita) dengan setumpuk dosa ini perlahan mulai memperbaiki diri, yang ditampilkan tatkala Fox mulai aktif sebagai seorang aktivis pembela kekejaman dari sebuah asas bernama hukum, hingga kegiatannya di gereja dalam rangka melakukan sebuah katarsis sekaligus meringankan luka yang telah lama ia derita. 


Fokus utama Time bukanlah apa yang terjadi, melainkan apa yang dirasakan. Bradley bersama sang editor, Gabriel Rhodes memberikan sebuah keintiman yang luar biasa menusuk, menghilangkan sekat antara penonton dengan karakter pun mengaduk perasaan tatkala kebanyakan adegan banyak dihiasi oleh nuansa kontemplatif berupa sebuah perenungan, penyesalan hingga keinginan yang tak tersampaikan bergumul dalam waktu yang akan menjawab. Dan tatkala waktu itu telah tiba, senyum bahagia dan ciuman penuh rasa seketika menghilangakan nestapa dan derita yang selama ini menerpa.

 

SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar