Tujuh Bidadari mencolok karena mempatenkan standar sebagai film pertama yang mengambil lokasi syuting di Aradale Lunatic Asylum, sebuah bangunan bekas rumah sakit jiwa di Australia yang sudah berdiri sejak 1866 silam. Setidaknya itu yang ditampilkan kredit awal filmnya yang seolah dinilai menjual tanpa turut serta mengindahkan kualitasnya yang belum tentu menorehkan prestasi, melainkan satu lagi (damn, i hate this sentence) sajian horor dalam negeri berkualitas tiarap.
Tentu, ini sangat mengejutkan karena datang dari Muhammad Yusuf, salah satu sutradara dalam negeri yang potensial dalam menelurkan tonton horor di masa pertengahan tahun belasan-berbekal produksi yang minim. Kemasukan Setan (2013), Angker (2014) hingga Misterius (2015) adalah bukti nyata dari kepiawaian sang sutradara memanfaatkan kesederhanaan pola formulaik-namun menghasilkan kualitas yang cukup memuaskan. Kembali pada tahun 2017 dengan menampilkan The Curse, sang sutradara kini telah berubah haluan, di mana horor serampangan pula minim kualitas dijadikan andalan.
Judulnya sendiri merujuk pada nama sebuah band di mana masing-masing karakter memegang peranan, hendak melakukan tour sekaligus mencari spot untuk pembuatan video klip di Australia, 7 Bidadari (selanjutnya disebut 7B) yang pasca bertemu Mike (William D McLennan) di sebuah kafe memutuskan untuk mengikuti saran Mike untuk berkunjung ke Aradale Lunatic Asylum di Ararat, Australia. Dari sini ketidakonsistenan datang dalam bentuk dialog, entah itu sebuah bentuk miskinnya kuantitas atau kebingungan para penulisnya, impresi utama ketika Mike menjelaskan bahwa Aradale Lunatic Asylum adalah tempat bekas rumah sakit jiwa yang konon menewaskan 10.000 orang diulang selama dua kali, pun saya bingung mencerna alasan mengapa anggota 7B sepakat untuk ikut hanya karena sebatas Mike adalah orang tampan pula memiliki kemampuan sepadan? Sungguh sebuah alasan yang tak masuk akal mengingat mereka hanya baru mengenal Mike yang patut dicurigai kehadirannya.
Jangankan berpikir secara rasional, naskahnya saja lalai membuka sebuah jalan guna menempatkan para anggota 7B dalam bahaya. Pasca sampai di Aradale Lunatic Asylum, Mike izin keluar untuk mengambil minum, anggota 7B dengan norak-nya berkeliling ruangan dengan rengekan yang tak karuan, sementara sang lead, Stella (Dara Warganegara) melarangnya hanya untuk menjelaskan menunggu Mike datang. Dari sini teror bermula, yang membuka jalan bagi Tujuh Bidadari menampilkan sebuah kepuasan kala ia bermain dengan ranah thriller-slasher, meski terkait pemaparan asal-muasalnya sungguh berantakan.
Jangankan hiburan, terornya tersaji kurang bergigi karena mayoritas kematian karakternya ditampilkan secara off-screen, yang setelahnya hanya berupa suara tusukan, cekikan hingga muncratan darah yang keluar dari layar. Ada salah satu kematian karakternya yang cukup sadis, di mana ia dipenggal kepalanya menggunakan kapak, sorotan tak datang dari cara membunuhnya, melainkan ketidakpekaan para pembuatnya yang kentara terlihat jelas di layar.
Berlangsung selama 90 menit, Tujuh Bidadari tampil membosankan berkat ketiadaan kepentingan dari naskah yang seolah jalan ditempat. Dikerjakan oleh empat orang: King Javed (Angker, Halusinada, Arwah Noni Belanda), Konfir Kabo (produser The Curse), Resika Tikoalu (Produser Tujuh Bidadari dan The Curse) pula Yusuf, lalai dalam membangun sebuah kejelasan setelah filmnya meninggalkan setumpuk pertanyaan menganga yang tak kunjung dijawab setelah filmnya berakhir.
Saking banyaknya, saya pun sempat kebingungan mencerna apa yang terjadi di layar hingga yang terjadi setelahnya adalah usaha tak perlu yang tak lantas membuka sebuah kisah. Jika hantu Shu Yin membutuhkan manusia untuk kebangkitannya, kenapa ia bisa melancarkan teror? Mengapa harus 7B korbannya? Mengapa Stella memiliki wajah yang mirip dengan Shu Yin? Di mana hubungannya? Pertanyaan tersebut sungguh mengganggu yang seperti telah saya singgung dibiarkan begitu saja tatkala durasi habis. Jika itu ada hal yang menarik dari film ini adalah riasan hantu Shu Yin dan soundtrack-nya yang dinyanyikan oleh Brigitta Chyntia, sementara para pemerannya (juga filmnya) adalah satu kesatuan yang utuh dalam menciptakan sebuah kengerian (in a bad way) yang hakiki dan tak seharusnya dimiliki oleh film ini.
SCORE : 1/5
0 Komentar