Diniati sebagai sekuel bagi The Craft (1996), The Craft: Legacy nyatanya tampil sebagai soft reboot atau soft remake yang memulai kembali narasi, hanya untuk mengaitkannya secara paksa di akhir cerita (detailnya akan dijelaskan nanti). Sebagaimana yang dilakukan pada film serupa, The Craft: Legacy hanya berfungsi menambahkan sebuah moderenisasi pula relevansi masa kini, hasilnya memang tak terlalu mengecewakan, meski terkait elaborasi semuanya terlalu menggampangkan.
Karakter utama kita bernama Lily (Cailee Spaeny) yang bersama sang ibu (Michelle Monaghan) pindah ke rumah kekasihnya, Adam (David Duchovny). Tentu, butuh sebuah adaptasi baru baginya, mengingat Adam juga memiliki tiga putra seumuran dengannya. Ketika pertama masuk ke sekolah baru, Lily harus menelan rasa malu tatkala dirinya mengalami menstruasi pertama, ia bahkan sempat diejek pula dipermalukan oleh Timmy (Nicholas Galitzine) yang menyandang status sebagai pria brengsek sebagaimana terdapat dalam film remaja.
Malang bagi Lily, namun untung bagi Lourdes (Zoey Luna), Tabby (Lovie Simone) dan Frankie (Gideon Adlon), tiga penyihir yang menemukan formasinya (Timur, Selatan, Utara, Barat). Seketika mereka mengajak Lily untuk ikut bergabung, bahkan Frankie hingga berlutut memohonnya. Selepas itu, beberapa ritual mereka lakukan, yang kemudian disertai dengan permohonan. Jika versi pertamanya menciptakan sebuah pengabulan beserta dampak yang harus dirasakan, lain halnya dengan The Craft: Legacy yang sebatas melakukan tugas pembuka konflik, tanpa benar-benar terasa menarik.
Terkecuali Lily yang diberikan kredit lebih karena sebagai pemeran utama, praktis tiga penyihir lain yang sudah terlebih dahulu mengenal ilmu sihir urung diberikan karakterisasi lebih, kita tidak pernah mengetahui latar belakangnya secara pasti yang menciptakan sebuah kejomplangan tatkala dibandingkan dengan film pertamanya yang lagi-lagi harus saya bandingkan. Padahal, sebagai kesatuan film yang utuh, setiap film mempunyai ciri masing-masing pula nila tersendiri. Namun, ini terpaksa dilakukan karena yang tercipta bukanlah sebuah kemajuan, melainkan penurunan yang signifikan.
Cerita mengenai sihirnya memang ambigu, meski terkait relevansi yang ditorehkan sutradara sekaligus penulis naskah, Zoe Lister-Jones tampil menarik karena turut menyinggung soal toxic masculinity yang dilakukan para pria penganut budaya patriarki. Mereka menolak untuk tampil lemah, membenci sebuah kesedihan dan memaksakan dirinya harus terlihat kuat, sebagaimana buku populer yang ditulis oleh Adam, The Hallowed Masculine.
Sementara para penyihir wanita yang sudah memiliki kekuatan hanya berjuang memperkuat dan mempertahankan diri, mereka bahkan membenci mencelakai orang lain, karena sebagai anugerah, sihir seharusnya digunakan sebagaimana mestinya, bahkan ritual "mengikat diri" dilakukan untuk diri sendiri, bukan untuk mencelakai orang lain seperti yang telah dilakukan pendahulunya.
Alih-alih diteruskan keberlangsungannya, The Craft: Legacy hanya menjadikannya sebagai sebuah pernak-pernik yang berada di permukaan saja, urung memberikan kedalaman bagi relevansinya sebagaimana film bertema superhero belakangan. Ini hanya menjadi wadah bagi filmnya menampilkan sebuah aksi sihir canggung dengan bantuan CGI kasar yang terselesaikan begitu saja. Sungguh sebuah hal yang sangat disayangkan, mengingat pembangunannya yang sudah setengah jadi.
Terkait relasi dengan film pertama, The Craft: Legacy hanya sebatas menjawab judul "legacy" yang mana urung digali. Bermodalkan sebuah pertanyaan untuk menjawab asal-usul orang tua Lily, semuanya berlalu begitu saja tatkala salah satu karakter di film pertamanya ditampilkan. Dan seketika itu pula The Craft: Legacy berakhir sebagai sajian prematur yang dengan percaya diri membangun sebuah jembatan menuju sekuel. What a mess .....
SCORE : 2/5
0 Komentar