Sukses dengan series horor Nawangsih yang merupakan hasil cerita dari Melly Goeslaw, Lubang Kunci tak pelak merupakan perwujudan kembali dari cerita Melly dalam menulis cerita horor yang selama ini merupakan kegemarannya-yang urung dipublikasikan. Masih berduet dengan Evelyn Afnila, yang sebelumnya pernah menghasilkan deretan judul horor berkualitas busuk seperti Roh Fasik (2018), Surat dari Kematian (2020), Janin (2020) hingga yang cukup dikenal adalah Keluarga Tak Kasat Mata (2017) yang dusutradarai oleh Hedy Suryawan. Terdengar seperti sebuah reuni yang berpotensi menyiksa pikiran dan batin.
Terdiri dari lima episode (yang masing-masing berdurasi tak lebih dari 30 menit), Lubang Kunci sama halnya dengan Nawangsih, plotnya sendiri menyoroti keluarga Hendrawan (Wafda Saifan) bersama sang istri (Kinaryosih) yang turut memboyong ketiga anaknya, Andi (Randa Septian), Hanin (Michelle Joan) dan Dona (Salsabilla Zahra) untuk pindah ke sebuah rumah berharga murah di pinggiran kota melalui jasa makelar (Achmad Megantara, Oxcel) yang telah dikenalnya. Seperti halnya pola haunted house, tak butuh waktu lama untuk masing-masing anggota keluarga tersebut diteror oleh makhluk halus.
Berbicara mengenai teror di sini adalah berupa benda bergerak sendiri, sekelebat penampakan yang dilihat menghilang pula parade berupa lampu mati. Sungguh sangat formulaik pula monoton. Apalagi efektifitasnya tak seberapa ampuh, yang membuat momen tersebut tak ubahnya sebagai sebuah syarat untuk disebut sebagai film horor.
Seolah tak mempunyai kedalaman, naskahnya terdiri atas rangkaian pengulangan, di mana masing-masing karakter saling adu argumen atas apa yang terjadi terhadap Dona yang merupakan anak kesayangan keluarga terhadap Hanin yang sering menjahilinya. Dari sini terdapat relevansi seputar bullying yang gagal tersaji akibat lemahnya narasi.
Narasi dibagi menjadi enam babak di mana diantaranya mempunyai sub judul masing-masing (mata, televisi, ruang rahasia, foto, dll.), yang nihil dampak selain memberikan sebuah indikasi tak penting. Tanpa diberi sub judul pun penonton sudah paham betul atas apa yang terjadi, dan Lubang Kunci menganggap penonton sebagai seorang yang bodoh, yang harus disuapi beragam kebenaran tanpa membiarkannya melakukan sebuah penelusuran, yang mana gagal diciptakan.
Selanjutnya, naskahnya menyimpan fokus lebih terhadap Dona yang berubah drastis setelah mendapat perundungan dari teman sekelasnya pula Hanin yang sempat menguncinya di ruangan gelap. Dari sini hadir sebuah formula yang paling saya benci dalam genre horor, di mana perdebatan antara si percaya dan si pencerna logika dikedepankan, yang semakin jemu tatkala momen tersebut tampil repetitif.
Sulit sekali menemukan intensitas terhadap sebuah momen krusial dalam horor selain suara menggelegar dari scoring gubahan Anto Hoed yang seolah membuat gendang telingan seakan pecah. Ketimbang kengerian yang tersulit, saya justru ingin meneriaki kebodohan filmnya dalam memberikan tata rias terhadap Dona yang kerasukan, yang sebatas menaburkan bedak secukupnya pula pemasangan soflens putih, sementara sang aktris berakting kaku sekaku batang kayu. Sungguh sebuah penyiksaan yang benar-benar sepadan.
Selaku sutradara, Hedy Suryawan masih tak memiliki progres signifikan selain mengulur durasi dengan menciptakan drama nihil urgensi. Pengadeganannya banyak berlarut-larut, membuat saya bosan melalui tiga puluh menit durasi yang terasa seperti dua jam lebih. Ketika konklusi dan segala rahasia diungkap, saya hanya bisa mengelus dada dan bergumam dalam hati "Setan apa yang merasukiku? Hingga aku tega membiarkan dua jam setengah untuk tontonan semacam ini?
SCORE : 0.5/5
0 Komentar