Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - THE GLORIAS (2020)

 

Sebagai biografi bagi Gloria Steinem, The Glorias memiliki sebuah penceritaan baru di mana dalam sebuah bus Greyhound, empat iterasi dari Gloria hadir duduk berdampingan. Gloria kecil (Ryan Kiera Armstrong) saling berbincang bersama Gloria remaja (Lulu Wilson) sementara di kursi depannya Gloria dalam umur 20-an (Alicia Vikander) saling berbagi cerita dan pendapat dengan Gloria dewasa (Julianne Moore). Sesekali, mereka menatap jendela, melihat keadaan luar yang secara tersirat melihat kembali masa-masa mereka yang dipenuhi berbagai kenangan yang melibatkan orang tercinta, mimpi hingga hal yang paling dibenci. Momen ini tampil begitu intim, di mana napak tilas akan kisah diri sendiri dipertanyakan, diperdebatkan bahkan diwujudkan di kemudian hari. Mengamini sebuah buku yang ditulisnya yang berjudul My Life on the Road.


Hidup bersama sang ayah yang merupakan kolektor barang antik, sedari kecil Gloria sudah dibebani oleh pelajaran dalam mengenal perjalanan, yang menurut sang ayah (Timothy Hutton) adalah sekolah yang sebenarnya. Acap kali berbeda pendapat dengan sang ibu (Enid Graham) yang memandang kehidupan secara konvensional, Gloria remaja harus menerima bahwa kedua orang tuanya tak lagi bersama. Apalagi, ia harus menanggung beban mengurus ibunya yang sakit-sakitan, seolah tak ada waktu untuk keluar rumah seperti dulu.


Fase paling berat tentu hadir tatkala Gloria dalam tahap menju dewasa, setelah menyelesaikan beasiswanya di India selama dua tahun lamanya, Gloria kembali lagi ke Amerika guna merintis kehidupannya sebagai seorang jurnalis sebagaimana ibunya dahulu. Tentu, tak mudah bagi seorang wanita dalam profesi tersebut yang kerap dipandang sebelah mata (bahkan ibunya menulis byline dengan nama pria), tembok besar bernama patriarki pula perilaku seksime dan diskriminasi nyata adanya, seolah sudah menjadi budaya yang mendarah daging.


Dalam tatapan pria (male gaze), baik itu yang bekerja menggunakan pakaian necis maupun pria biasa, wanita tak lebih dari sekedar alat seksual, yang menurut mereka hanya mengganggu pandangan dan konsentrasi bekerja. Pun, demikian yang diterima oleh mahasiswi di sebuah kolega ternama. Untuk menepis anggapan tersebut, Gloria berhasil menerbitkan sebuah berita sensasional dan menjadi bahan pembicaraan, yakni terkait sisi kelam para pramusaji di sebuah Playboy Club, yang ia rasakan sendiri pengalamannya selama menjadi seorang Bunny.


Menolak tawaran untuk membukukan beritanya setelah mendapat ancaman dari beberapa kalangan pula perilaku atasan yang tak sepemikiran, Gloria memutuskan untuk menjadi aktivis pembela hak wanita, mempertemukannya dengan nama seperti Dorothy Pitman Hughes (Janelle Monae) hingga Florynce Kennedy (Lorraine Toussaint) beserta para wanita lainnya yang berjuang atas nama kesetaraan gender yang nantinya menghasilkan sebuah majalah bernama Ms. yang membahas seputar wanita beserta hal tabu lainnya, sebutlah seputar tindakan aborsi yang masing-masing pernah wanita lakukan.


Hadirnya majalah tersebut menciptakan reaksi beragam, yang kebanyakan menghadirkan sebuah ejekan pula tuduhan tak beralasan, paling kejam adalah sebutan lesbian yang mengacu pada kehidupan Gloria yang tak kunjung menikah dan bahkan selalu dipertanyakan karena tak memiliki anak. Isu yang banyak menyimpan relevansi ini dikemas cukup mumpuni oleh Julie Taymor (Frida, Across the Universe, The Tempest) yang turut menulis naskahnya bersama Sarah Ruhl.


Berlangsung selama 147 menit, The Glorias dipenuhi oleh dialog-namun berisi, beragam permasalah yang menyudutkan wanita dibungkus dalam nada yang berbeda, mulai dari argumen sarkastik hingga pernyataan membara yang saya yakin bakal mewakili beberapa pihak yang bernasib sama. Puncaknya adalah ketika kampanya besar-besar yang dilakukan demi mendukung Bella Abzug (Bette Midler) dalam memperjuangkan dan menegakkan Equal Rights Amendment lewat sebuah pidato menggugah yang diamini oleh kalangan wanita. Sebuah momen indah yang menggetarkan jiwa.


Guna mengejawantahkan semua yang ada dibuku tak pelak menjadikan penyutradaraan Taymor tampil begitu literal, beragam peristiwa dijejalkan menjelang akhir yang membuat paruh ketiganya penuh sesak, yang untungnya tak sampai mengeliminasi esensi utama, hanya saja berjalan begitu lama, beberapa pemangkasan sejatinya bisa dilakukan tanpa harus kehilangan urgensi.


Beruntung, The Glorias mempunyai jajaran ensemble cast paling memikat, yang masing-masing tampil memberikan nyawa tersendiri. Baik Moore, Vikander, Wilson hingga Armstrong, keempatnya berjasa menghidupkan karakter Gloria Steinem dalam tahapan berbeda, pula karakter pendukung lainnya yang tak kalah apiknya. Menjelang akhir, The Glorias memantapkan dalam meninggalkan kesan mendalam, terlebih penutupnya membungkus perjalanan menuju Women's March pada tahun 2017 yang menjadi sebuah perayaan atas terangkatnya derajat wanita dalam sejarah.


SCORE : 3.5/5

Posting Komentar

0 Komentar