Spell garapan sutradara Inggris-Zimbabwe, Mark Tonderai (Hush, House at the End of the Street) kaya akan unsur rip-off dari Misery (1990) dan The Skelton Key (2005) di mana horor sesungguhnya berasal dari sebuah keterasingan pula trauma masa lalu yang suram. Tokoh utamanya bernama Marquis T. Woods (Omari Hardwick), seorang pengacara mapan yang harus kembali ke tempat tinggalnya yang penuh dengan mimpi buruk sewaktu kecil. Kembalinya Marquis ke sebuah pedesaan Kentucky, Appalachia untuk memberikan penghormatan terakhir terhadap sang ayah, yang meski coba ia lupakan sosoknya, setidaknya menurut sang istri, Veora (Lorraine Burroughs) tak ada salahnya untuk memberikan salam perpisahan.
Turut memboyong kedua anaknya, Samsara (Hannah Gonera) dan Tydon (Kalifa Burton) mereka pergi menggunakan pesawat pribadi, yang ketika singgah untuk mengisi bahan bakar di sebuah perkampungan, aura misterius seketika terpancar lewat sosok pemilik bahan bakar yang kurang ramah, seolah memberikan sinisme secara tidak langsung, terlebih kala Marquis menyinggung perihal jimat yang di daerah tersebut begitu dijunjung tinggi.
Ketika melanjutkan perjalanan, badai menghantam pesawat Marquis yang membuatnya seketika terbangun di sebuah ranjang dengan keadaan penuh luka. Ingatan pertamanya tertuju pada keberadaan keluarganya yang tak berada disampingnya setelah sang pemilik rumah, Eloise (Loretta Devine) menyebut bahwa tidak ada orang lain selain dirinya. Kecakapan dalam membangun intensitas misterius dilanjutkan oleh Tonderai lewat sorot wajah pula ekspresi tak mengenakan dari Eloise, yang berkat kepiawaian Devine menciptakan sebuah range emosi sederhana, namun menakutkan.
Sampai disini, Spell sarat akan slow-build yang tertata cukup rapi dan tanpa basa-basi. Ketidaktahuan kita sama halnya dengan ketidaktahuan Marquis yang kemudian menciptakan sebuah koneksi efektif untuk menelusuri apa yang terjadi. Momen seperti melihat jendela pula mengamati seisi rumah menjadi senjata ampuh guna menciptakan kengerian, meski setelahnya Spell seketika pindah haluan menjadi ultra-formulaic, yang bukan sebuah masalah, meski sejatinya datang membawa masalah.
Masalah hadir tatkala repetisi terjadi di mana momen "Marquis mencoba kabur" menghasilkan sebuah kejemuan tersendiri, di sini penghormatan bagi Misery ditampilkan, yang meski menyulut rasa ngilu, rasanya terlampau formulaik selepas puluhan adegan serupa telah diulang yang bahkan mencakup semua genre, mulai dari action, thriller hingga horor. Spell justru tampil lebih efektif kala menyoroti beragam macam sesembahan pula alat peraga okultisme, yang paling mencolok tentu boneka boogity yang terbuat dari darah bercampur tanah liat dengan campuran air mani didalamnya.
Berangkat dari itu, Spell bahkan menampilkan salah satu sekuen sederhana namun membekas lama diingatan, tatkala sebuah ritual hoodo yang mengorbankan hewan sebagai penyembuhan iman dilakukan, sang pemimpin mencongkel mata kambing bagi jemaatnya yang buta, begitu dipasangkan seketika ia bisa melihat apa yang sebenarnya tak diketahui (menunjuk Marquis yang tengah mengintip di atap rumah).
Kepiawaian Tonderai jelas sudah terlihat nyata dari sana, yang berpotensi membuat Spell lebih dari sebatas tontonan pemuas hari Halloween-seandainya naskah buatan Kurt Wimmer (Equilibrium, Total Recall, Point Break) setia pada jalur utama yang lebih mengedepankan pada keheningan ketimbang kekacauan sebagaimana film kelas B kebanyakan. Ini mengakibatkan konklusinya mengambil jalan tengah berupa simplifikasi yang enggan membawa penontonnya untuk menyelami apa yang nantinya terjadi. Seketika Marquis piawai bermain mantra, seketika itu pula kita mengetahui filmnya akan berakhir sebagaimana mestinya.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar