Mendompleng sub judul dengan menambahkan kata The White Storm, Drug Lords yang merupakan sekuel tematik bagi film arahan Benny Chan tak lantas melanjutkan kisah film pertamanya dengan memilih versi alternatif seputar kelompok Triad dan hubungannya dengan narkoba. Mengembalikan Andy Lau dan Louis Koo jelas menambah nilai film ini, dan sesuai harapan, penampilan keduanya tampil seperti biasa tak mengecewakan, yang mengecewakan justru datang dari naskah buatan Eric Lee (The Leakers, The Sleep Curse) dan Erica Lee (The Leakers, Golden Job, Tracey) bersama Herman Yau (The Leakers, Shock Wave, The Sleep Curse) yang turut merangkap sebagai sutradara-justru terlampau menyederhanakan beragam aspek ditengah muatan cerita yang penuh sesak.
Filmnya dibuka pada tahun 2004, di mana Feng Chun-kwok alias Dizang (Louis Koo) tergabung dalam kelompok Triad yang diketuai oleh Yu Nam (Kent Cheng). Permasalahan muncul tatkala Dizang menjuak narkoba di bar miliknya tanpa sepengetahuan Yu Nam. Sebagaimana hukuman keras yang kerap dipakai kelompok Triad, Yu Nam meminta Yu Shun-tin (Andy Lau) untuk memotong tangan dan jari Dizang. Atas dasar kesetiaan, Shun-tin pun memotongnya, membuat persahabatan yang sudah lebih dari keluarga antara keduanya berujung hancur.
Lima belas tahun kemudian, Yu Shun-tin adalah seorang taipan bisnis sukses yang kemudian dikenal dengan "Finance Whiz" berkat kedermawanannya. Itu terjadi setelah ia menikahi sang koleganya sendiri, Michelle (Karena Lam) yang kini adalah seorang pengacara terkemuka. Sementara itu, usaha narkoba Dizang semakin pesat, membuatnya mendapat predikat sebagai gembong narkoba terbesar di dunia bawah Hong Kong.
Berawal dari surat yang datang dari mantan kekasih Shun-tin, May (Chrissie Chau) yang telah meinggal-memberitahukan bahwa tanpa sepengetahuannya, ia memiliki seorang putra yang kini kecanduan narkoba di Filipina. Tak butuh waktu lama untuk Shun-tin pergi kesana hanya untuk mendapati sang putra bunuh diri dihadapannya berkat adiksi narkoba.
Trauma dengan sang ayah dan sang putra yang mati sia-sia karena narkoba, Shun-tin kemudian meminta bantuan polisi dibawah pimpinan Lam Ching-fung (Michael Miu) yang juga memiliki masa lalu yang kelam dengan narkoba saat sang istri mati dalam tugas memberantas para pecandu. Dari sini kesimpulan didapat, yang seperti dugaan akan mengarah pada satu nama: Dizang.
Pembukanya meluangkan waktu untuk bercerita, yang mana adalah keputusan tepat guna menambah sebuah pemahaman bagi penonton untuk mencerna latar belakang utama tanpa harus dijejalkan dalam bentuk flashback. Selanjutnya, progresi alur berjalan cukup dinamis tatkala Herman Yau tak segan menampilkan pemandangan sadis.
Ini tentu diharapkan terjadi secara kontuniti, meski pada kenyataannya Drug Lords terlampau sibuk menebar aspek cerita lain yang tampil kerdil. Bukannya menguatkan narasi, kehadirannya justru mengganggu lajur alur yang tersendat untuk kemudian sebatas disederhanakan. Kecacatan ini jelas mengganggu, yang membuat Drug Lords masuk ke sebuah fase menjemukan akibat ketiadaan kepentingan.
Untungnya, deretan sekuen aksinya tampil mumpuni (meski terkendala CGI kasar), setidaknya ada sebuah nilai tersendiri yang menyulut sebuah ketertarikan meski sangat disayangkan kurangnya sebuah karakterisasi berujung melemahkan. Pun, saat Drug Lords berpindah haluan ke ranah drama, efektifitasnya tampil tak seberapa.
Ada sebuah sentilan terhadap budaya kapitalis yang justru tenggelam seiring naskahnya sibuk berceramah soal bahaya narkoba yang penerapannya tampil kurang maksimal berkat lemahnya "medium" dari para kakternya, yang paling lemah justru karakter Ching-fung yang kurang diberi sorotan alih alih dipaksakan hadir diantara perseteruan Dizang dan Shun-tin.
Konklusinya adalah satu hal yang akan paling diingat. Ini menandai momen besar filmnya dalam menyuguhkan aksi over-the-top yang turut melibatkan stasiun rel kereta bawah tanah sebagai saksi bisu terjadinya sebuah pertumpahan darah. Sayang, momen akhirnya tampil terlalu dini, sebagaimana keseluruhan filmnya yang banyak dieliminasi.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar