Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - LAAL KAPTAAN (2019)

 

Datang dari kepala Navdeep Singh yang sempat melahirkan Manorama: Six Feet Under (2007) hingga NH 10 (2015), selaku sutradara sekaligus penulis naskah bersama Sudip Sharma (NH 10, Udta Punjab, Sonchiriya) dan Deepak Venkateshan (Babloo Happy Hai, Kaun Kitney Paani Mein, Jazbaa) Laal Kaptaan adalah sajian diluar arus utama Bollywood, yang kembali mengeliminasi standar dengan menempatkan cerita dengan latar abad ke-18, tepatnya 25 tahun pasca pertempuran Buxar dan Plassey. Tambahkan unsur lain seperti keterlibatan British East Indian Company beserta suku Afghanistan, bangsa Maratha dan seorang pemburu hadiah. Terciptalah sebuah sajian bernapaskan western, di mana hukum alam yang sukar ditebak digantikan dengan hukum rimba beserta rantai makananya.


Gossain (Saif Ali Khan) adalah seorang Naga Sadhu yang kesehariannya adalah menuruti titahan demi mendapatkan imbalan berupa koin emas. Sekuen pembukanya menampilkan Gossain tengah mengincar seorang buruan yang hendak diserahkan dan kemudian disalahgunakan pasca sang tuan membayarnya diluar perjanjian. Dari sini kita mengetahui sikap asli Gossain, yang diluar tampilannya yang banyak diam ternyata begitu mematikan.


Harta bukanlah tujuan utama Gossain dalam hidupnya, melainkan keadilan. Memiliki masa lalu yang kelam, selama hidupnya Gossain mengincar seorang pria bernama Rehmat Khan (Manav Vij) yang kabur bersama para pengikutnya setelah mengkhianati dan menghabisi seluruh nyawa bangsa Maratha dan menjarah seluruh harta pajak rampasannya. Dibantu Noor Bai (Sonakshi Sinha dalam sebuah cameo singkat nan gampang dilupakan), Gossain perlahan menjalankan misinya melampiaskan balas dendam kepada Rehmat Khan dengan diam-diam melakukan perjalanan menuju Bundelkhand.

 

Sepanjang durasi yang mengalun selama 155 menit, Laal Kaptaan mengajak kita untuk mengamati perjalanan Gossain bersama kudanya dalam melacak keberadaan Rehmat Khan, pun dalam modus operandinya, tentu akan ada halangan dan tantangan. Gossain bahkan sempat dicegat dan hendak dibunuh oleh para Maratha yang juga mencari keberadaan Rehmat Khan dengan meminta bantuan seorang pelacak (Deepak Dobriyal dalam pembawaan penuh totalitas) yang hanya bermodalkan dua anjing peliharannya.

 

Sama seperti karya sebelumnya, pengarahan Navdeep Singh tampil berani dengan menampilkan beragam baku-hantam yang melibatkan pedang bersama korban demi korban yang siap berjatuhan. Beberapa ditampilkan secara off-screen yang sedikit mengurangi kenikmatan, namun hasilnya tepat sasaran. Beberapa mayat yang tergeletak (bahkan beberapa diantarnya ada yang membusuk) ditampilkan secara jelas. Pun, dalam menekan kadar kekerasan, Laal Kaptaan tak segan menghabisi nyawa anak kecil yang menyaksikan segala kelakuan keji dengan tujuan menghilangkan bukti dan saksi.

 

Ada beberapa elemen menarik yang menguar didalamnya, salah satunya unsur mistisme yang ditampilkan lewat karakter Laal Pari (Vibha Rani), seorang peramal dengan mata putih, gigi hitam dan rambut gimbal. Momen ini terjadi ketika Rehmat Khan beserta sang istri, Begum (Simone Singh) menanyakan masa depan sang putra yang seperti kita ketahui bernasib buruk. Pun dari sini kita mengetahui konklusi yang nantinya tampil sesuai prediksi.

 

Itu sejatinya bukanlah masalah yang harus diperdebatkan. Tak apa jika Laal Kaptaan mengambil opsi tersebut yang tak dosa hukumnya jika diterapkan. Permasalahan terjadi tatkala Laal Kaptaan kekurangan amunisi dalam melewati masa pencarian seorang Gossain, beberapa diantaranya harus diakui tampil baik, meski tak jarang (kebanyakan) tampil buruk. Ini adalah bentuk kebingungan para penulisnya yang kekurangan sebuah ide dalam menjalankan roda penceritaan.

 

Alhasil, dipilihlah jalan tengah dengan kembali menambahkan karakter baru dalam wujud seorang janda yang diperankan dengan baik oleh Zoya Hussain. Tak seberapa membantu, meski kehadirannya cukup penting dalam menjalankan sebuah twist yang sejatinya tak baru. Dari sini pula penguluran dilakukan, tatkala Gossain yang bertemu dengan Rehmat Khan tak dijadikan sebagai ajang pembalasan, melainkan satu lagi kebingungan naskahnya dalam melambatkan durasi yang sebenarnya bisa dipangkas lagi. 155 menit terlampau panjang untuk ukuran cerita yang sebatas menampilkan aksi balas dendam.


Meniliki segi artistik, Laal Kaptaan sendiri memiliki Shanker Raman (Rocky Hansome, The Brawler, Gurgaon) selaku sinematografer yang dalam penerapannya banyak terinspirasi oleh Akira Kurosawa (pengambilan gambar berwarna sephia). Hasilnya cukup menawan, meski di beberapa kesempatan tak sepenuhnya layak dibanggakan. Setidaknya, penggambaran gersangnya tanah Hindustan pra-kemerdekaan tampil sepadan dan tak mengecewakan.


Saif Ali Khan adalah alasan mengapa Laal Kaptaan setidaknya sedikit terselamatkan. Dengan rambut gimbal, abu yang selalu menempel serta setelan kontingen Inggris banyak mengingatkan saya akan Kapten Jack Sparrow dalam seri Pirates of Caribbean. Sementara keberadaan Manav Vij kurang dimanfaatkan, gelar MVP jatuh kepada Deepak Dobriyal dalam karakter manusia yang memiliki naluri dan jiwa hewan (baca: anjing).


Konklusinya mengamini apa yang hendak terjadi (dan sesuai prediksi) tatkala dendam kesumat akhirnya dilakukan dan dihempaskan. Mencapai klimaks, kepuasan memang didapat, namun kembali, ini tak akan begitu gampang menghapus sebuah perjalanan yang penuh akan kekosongan. Sonchiriya jelas masih yang terdepan.


SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar