Selain film religi yang getol menggurui, saya amat membenci film bernada patriotis yang begitu senang memborbardir telinga dengan ungkapan rasa bangga terhadap negara. Bukan, saya bukan orang yang anti nasionalis, melainkan orang yang lebih suka mengedepankan sikap etis. Bukankah wujud cinta terhadap negara tak harus melulu diucapkan di depan mata dan telinga? Ini sama saja seperti anda mengaku orang shaleh yang dengan senang hati membanggakan ibadah sendiri-yang semestinya merupakan sebuah urusan pribadi dengan Tuhan. Ah, saya lupa, ini adalah kisah tentang para tentara yang meninggalkan keluarga untuk tugas negara. Tonton Raazi yang lebih pintar dan paham mengenai hal ini.
Mari kita lupakan hal tersebut yang secara tersirat mengeliminasi elemen filmis, sebelum review ini akan sepenuhnya berubah menjadi tulisan berisi caci-maki yang mana bukan esensi film itu sendiri. Paltan merupakan ajang kembalinya sutradara J.P. Dutta (Border, LOC: Kargil, Umrao Jaan) setelah hiatus selama 12 tahun dan kembali pada genre kegemarannya, yakni historical-drama-war. Disebut-sebut sebagai pelengkap trilogi perangnya, Paltan mengikuti segala tetek-bengek narasi pendahulunya, yang mana seiring bergantinya tahun, dinilai ketinggalan zaman. Pun, dari segi pengadeganan Paltan pun tampil memprihatinkan.
Paltan sendiri mengisahkan para peleton perang mempertahankan perbatasan Nathu La yang diakui oleh bangsa Tionghoa. Ini tejadi pada tahun 1967 di mana kedua belah pihak saling mengatur strategi mengambil wilayah dan mempertahankan wilayah. Dipimpin oleh Letnan Kolonel Raj Singh Yadav (Arjun Rampal) para peleton yang terdiri dari: Mayor Bishen Singh (Sonu Sood), Kapten Prithi Singh Dagar (Gurmeet Choudhary), Mayor Harbhajan Singh (Harshvardhan Rane), Hawaldar Parashar (Siddhanth Kapoor) dan Letnan Attar Singh (Luv Sinha) harus siap membela dan mempertahankan negara, yang nantinya berpuncak pada sebuah peperangan memperebutkan wilayah Sikkim.
Sebelumnya kita diperlihatkan aksi pemberontakan yang dilakukan tentara Tionghoa yang membabat habis prajurit Sikh yang tengah beristirahat dan berlangsung pada tahun 1962 (Perang Indo-Sino). Peristiwa ini sejatinya menjadi sebuah latar belakang "terkait" yang melandasi semangat juang akan pembalasan serupa. Sementara situasi sekarang, India dan Tionghoa saling berdamai pasca sebuah persetujuan yang masing-masing sudah disetujui, perkara pembatasan wilayah pun dilakukan yang mana akan mengantarkan filmnya pada sebuah perdebatan yang nantinya menyulut sebuah ketegangan lewat jalur kekeluargaan. Lontaran kalimat Hindi-Chini Bhai Bhai (India-China bersaudara) pun seringkali dijadikan penyelesaian.
Ketimbang melakukan introduksi sepadan, paruh awal Paltan diisi oleh serangkaian perdebatan berupa perkelahian di wilayah perbatasan, yang alih-alih tampil padat, justru terkesan cringey. Pasalnya, semuanya dikemas tanpa memiliki isi dan substansi alih-alih dijadikan sebuah penguluran dengan melakukan repetisi serupa yang begitu menjengkelkan. Ini seperti melihat perkumpulan anak-anak yang tengah berkelahi di halaman, daripada menyaksikan sekelompok prajurit yang tengah berada di medan perang.
Sempat menyentuh ranah drama, Paltan justru menjadikannya sebagai lahan menebar rentetan dialog patriotik dengan mencoba tampil poetic, yang alih-alih menguatkan elemennya malah berakhir dini, sementara urgensinya luntur begitu saja akibat ketiadaan rasa. Ini pula yang membuat konklusinya urung terasa mengena, meski sebelumnya sukses menggambarkan sebuah duka perihal kehilangan orang tercinta.
Baru setelah intermission, naskah yang juga ditulis oleh J.P. Dutta bersama Nagender Choudhary (dialog) sedikit tertata karena lebih memfokuskan strategi perang pula sempat menyentuh ranah drama yang cukup efektif, tatkala masing-masing prajurit saling memandang foto keluarga dan sosok tercinta sebelum besoknya melakukan peperangan sembari diiringi lagu Raat Kitni yang dinyanyikan begitu lembut dan melankolis oleh Sonu Nigam.
Meski tak layak diagungkan, setidaknya sekuen peperangannya senantiasa menyulut atensi berkat pengadeganan cukup cekatan yang sesekali menerapkan gaya Bayhem dengan memperbanyak ledakan secara masif. Seperti dua pendahulunya, tentu akan ada sosok yang meregang nyawa, sayangnya ini urung terasa akibat ketiadaan relasi sebelumnya kala ditautkan secara paksa dengan unsur drama. Perihal itu, J.P. Dutta bahkan memberikan sebuah hint tersendiri yang tetap saja urung menyelamatkan hasil akhir filmnya.
Harshvardhan Rane ialah yang paling terdepan dalam mengobarkan semangat juang peperangan, sementara para pemain lainnya masih bermain aman, termasuk menyiakan talenta aktor kawakan Jackie Shroff sebagai komandan umum Mayjen Sagat Singh yang kehadirannya sebatas memberikan perintah dan pesan peperangan. Gurmeet Choudhary tampil ekspresif, meski terkendala pelafan aksen yang tak lancar.
Konklusinya tampil baik, meski jika ditilik kembali, kental akan nuansa deus-ex-machina. Penempatan karakter yang seolah pro-India pun sediit mengganggu, yang mana menampilkan sebuah kejomplangan tersendiri. Contoh kecil seperti penggunaan kostum yang digunakan para tentara India yang cukup mewah lengkap dengan setelan jas berbulu, sementara untuk tentara China sendiri kurang diperhatikan, termasuk bagi karakter sang komisiaris selaku villain utama yang begitu gampang terlupakan begitu saja. Lalu, untuk apa poster besar yang menampilkan Mao Zedong?
SCORE : 2.5/5
0 Komentar