Datang dari Ashutosh Gowariker, sutradara yang pernah membuat Lagaan: Once Upon a Time in India (2001) dan sempat masuk ke dalam nominasi Best Foreign Film dalam kancah Internasional nan bergengsi The Academy Award a.ka Oscar hingga melahirkan Swades (2004) dan Jodhaa Akbar (2006) yang banyak dipuja-puja, Panipat adalah film yang kembali mematenkan sutradara kawakan ke sub genre kegemarannya dalam membuat period-drama berbalut historical-war, ini adalah sebuah penebusan setimpal setelah sebelumnya gagal dalam Mohenjo Daro (2016).
Mengambil setting pada tahun 1761, yang berarti menandai pertempuran Panipat ke-3 bangsa Maratha yang dipimpin oleh Sadashiv Rao Bhau (Arjun Kapoor), sepupu pemimpin Maratha, Nana Saheb Peshwa (Mohnish Bahl) setelah berhasil menaklukan Nizam di Udigiri dan bahkan menangkap sang komandan artileri, Ibrahim Khan Gardi (Nawab Shah) guna dijadikan pemimpin artileri bangsa Maratha. Keputusan yang sempat dipertanyakan ini ditepis oleh Sadashiv dengan alasan memberikan kesempatan kedua bagi musuh serta pengkhianat, pula pasukan Maratha tidak hanya terdiri dari orang Hindu saja.
Perhatian lebih yang diberikan oleh Peshwa menyulut kecemburuan sang istri, Gopika Bai (Padmini Kolhapure) akan ketakutannya bahwa Sadashiv bisa saja merebut takhta kerajaan Maratha menggeser sang pewaris, Vishwas Rao (Abhishek Nigam). Ini pula yang membuat Peshwa menjadikannya sebagai menteri keuangan, membuat Sadashiv mengatur segala perencanaan dan penanggulan terhadap kerajaan yang menunggak pajak pada kekaisaran. Salah satunya yakni dengan memberi peringatan kepada kepala Rohilla, Najib-ud-Daula (Mantra Mugdh) yang memiliki pajak terbesar yang belum terbayar.
Tak terima dengan sikap tersebut, Najib kemudian bersekutu dengan Ahmad Shah Abdali (Sanjay Dutt), pemimpin kerajaan Afghanistan. Keduanya merencanakan sebuah penyerangan dan perebutan New Delhi beserta wilayah utara lainnya. Inilah cikal-bakal terjadinya perang Panipat ke-3.
The Great Betrayal. Demikian tagline yang diusung Panipat sebagai kalimat yang mencakup permasalahan utama. Tak sepenuhnya sesuai sebagai sebuah pengkhianatan yang besar kala naskah yang ditulis oleh Ashutosh Gowariker (beserta empat penulis lainnya) tak sepenuhnya tersaji secara menyeluruh, karena fokus cerita terbagi menjadi beberapa bagian, termasuk didalamnya romansa antara Sadashiv dengan Parvati Bai (Kriti Sanon) yang secara terang-terangan menyatakan bahwa ia mencintai Sadashiv sedari mereka bertemu pada usia 11 tahun. Bahkan, Parvati mengingat betul rentang waktu ketika ia bertemu kembali dengan Sadashiv saat ia ditunjuk untuk mengobati luka sayatan pedang sekaligus menjalani tugasnya sebagai dokter kerajaan.
Romansa keduanya berjalan menggemaskan berkat pemanfaatan adegan sederhana dalam interaksi love/hate tak biasa, terutama berkat keekspresif-an Kriti Sanon dalam meregulasi dialog. Nantinya, hubungan keduanya sampai d jenjang pernikahan yang menyulut masalah baru bagi Parvati yang merupakan rakyat biasa dan harus mendapat kecaman berupa sinisme Gopika Bai. Elemen ini urung terjadi secara kontuniti dan apa yang dilakukan Parvati adalah hal yang harus dipuji.
Jangan harap mendapatkan sajian perang yang tampil awal, karena Panipat sendiri memilih menghabiskan durasi (dari total keseluruhan 162 menit) untuk membangun strategi perang yang mengharuskan Sadashiv beserta yang lainnya menjalin sebuah aliansi dari kerajaan seberang mulai dari meminta bantuan berupa pangan hingga pasukan kerajaan. Beberapa tampil melelahkan akibat pemaparan yang terlalu berkepanjangan, meski tak sepenuhnya tampil monoton karena Asutosh Gowariker pun memanfaatkan kesempatan dengan menyalurkan sebuah pesan.
Kentara diantaranya adalah mengenai persatuan hingga pemberdayaan wanita yang diwakilkan lewat karakter Parvati Bai. Sebagai seorang Ratu, Parvati tak hanya duduk diam membiarkan para lelaki mengambil peranan, ia bahkan mengusulkan diri untuk mendatangi Sakina Begum (Zeenat Aman) dalam upaya meminta bantuan berupa pangan dan pasukan. Kecerdasan dan tindakan Parvati dalam meluluhkan Sakina Begum memang tak lebih dari pemanfaatan kalimat bernada perjuangan, namun impact setelahnya adalah sebuah bukti nyata terkait kekuatan wanita dalam pemikiran luar biasa.
Tiba saatnya bagi Panipat menampilkan pertarungan puncak yang meski tampil kurang dari 30 menit memberikan sebuah pengalaman luar biasa dalam menangkap semangat juang para prajurit beserta aksi perang-yang meski bukan sebuah masterpiece (Sanjay Leela Bhansali masih yang terdepan dalam hal ini) tampil kompeten. Gowariker memastikan penonton merasakan apa yang terjadi di lapangan, baik itu berupa aksi tebasan, ledakan, memanah, hingga teriakan penuh amarah.
Arjun Kapoor tampil meyakinkan sebagai prajurit penuh keberanian, sementara tatapan Sanjay Dutt mampu menyiratkan sebuah kesan mematikan. Pujian tak terbendung tak henti saya berikan kepada Kriti Sanon yang menjadikan Parvati sebagai figur wanita mandiri yang tak hanya diam dibalik ketiak laki-laki, tindakan yang ia kerahkan kala hendak diserang lawan adalah sekali lagi bukti bahwa aktris yang satu layak mendapatkan peran di film aksi.
Konklusinya mengikuti kebanyakan film bertema serupa kala semuanya ditutup lewat sebuah epilog yang juga dinarasikan oleh Parvati, karena Panipat sendiri mengambil sudut pandang cerita dari seorang istri saksi peperangan. Setelah sebuah surat mendarat di kerajaan, Panipat kembali mengukuhkan sebuah dampak nyata setelah terjadinya peperangan, bahwa tak ada yang menang maupun kalah dalam hal ini. Peribahasa "menang jadi arang, kalah jadi abu" memang nyata adanya.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar