Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - MARTABAK BANGKA (2019)

 

Bukan. Martabak Bangka bukan sajian food porn layaknya Tabula Rasa (2014) yang menggugah rasa dan mata atau Aruna dan Lidahnya (2018) yang mampu mengundang rasa lapar ketika kamera menyoroti gambar makanan alih-alih tampil sebagai sajian road movie tentang pencarian alamat seseorang yang dianggap berjasa dalam lahirnya martabak bangka yang khas lewat tata cara pembuatannya yang menggunakan hati ketimbang resep turun temurun sebagaimana banyak penjual lain lakukan. Persepsi ini sejatinya menarik untuk disampaikan, walau keseluruhan Martabak Bangka abai dan memilih jalan lain berupa sebuah kelokan berkedok kejutan (baca: twist).


Jaya (Ramon Y. Tungka) adalah pria penjual martabak kenamaan di Bangka, martabak Koh Acun namanya. Pernah berada dalam didikan dan bimbingan Koh Acun selama membuat martabak, membuat Jaya kembali teringat akan jasanya sekaligus mempertanyakan kedai yang kini ia tempati untuk berjual. Semakin rumit tatkala sang kekasih, Laras (Gabriella Desta) menyuruhnya untuk menjual tempat tersebut karena dianggap sebagai warisan haknya.


Ditemani Asep (Ario Astungkoro) sang kerabat kerja, Jaya memulai sebuah perjalanan ke Bangka Belitung guna mencari keluarga Koh Acun sembari membawa abu kremasi miliknya pula sebongkah kotak berisikan surat yang tak tersampaikan. Perjalanan menemukan rumah tersebut semakin sulit kala Jaya hanya bermodalkan selembar foto Koh Acun ketika masih muda.


Ditulis naskahnya oleh Fahrul Rozi, Martabak Bangka mengalun secara intens, di mana sedari awal naskahnya enggan berlarut lama dalam menampilkan konflik utama mengenai sebuah pencarian rumah-yang nantinya dilontarkan secara episodik. Perjalanan yang dilalui Jaya tak semudah apa yang diharapkan, begitu pula kendala yang harus dihadapinya. Sayang, Fahrul rupanya belum mengerti dan menguasai sebuah esensi film road movie guna mengakali sebuah stagnansi, deretan hambatan dan kendala yang dilalui Jaya urung memberikan sebuah dampak signifikan bagi karakter Jaya maupun Asep, karena apa yang dihadirkan selalu selesai secara dini dan mudah untuk diselesaikan.


Ini sejatinya menghalangi penonton untuk berempati karena apa yang diharapkan terjadi pada karakter urung tampil memberi sebuah pelajaran berharga (sebagaimana banyak dilakukan dan tujuan utama dibuatnya road movie) ketika Martabak Bangka sibuk mencari jawaban dan melupakan sebuah kedalaman personal. Sempat filmnya menyulut sebuah gebrakan tatkala Jaya dan Asep berselisih paham, namun apa yang setelahnya lakukan berujung hampa karena ketiadaan feedback bagi filmnya untuk melakukan sebuah tindakan.


Disutradarai oleh Eman Pradipta yang kembali ke kursi sutradara setelah terakhir kali menyutradarai Anak Kos Dodol (2015), Martabak Bangka adalah ajang comeback-nya yang kurang memuaskan karena mengalami krisis tujuan. Setelah gagal sebagai sajian road movie, Martabak Bangka pun sukar disukai tatkala ia memilih untuk menerapakan romansa dalam balutan percintaan Koh Acun di masa lalu, selain klise, romantika keduanya berjalan datar dan gagal tampil meyakinkan. Hingga sebuah kejutan dilontarkan, sulit pula memahami gambaran cinta sejati yang harus mereka lalui.


Cinta pun menjadi alasan mengapa adik Koh Acun enggan menerima dan mengakui sang kakak. Saya butuh penjelasan lebih terkait keputusan yang melatarbelakangi alasan tersebut selain sebatas dugaan dan perkiraan yang diterapkan. Semakin menyedihkan tatkala Martabak Bangka membungkusnya lewat sebuah twist yang tampil berantakan akibat pembukaan yang serba ditampilkan mendadak termasuk perubahan sang adik yang seketika memaafkan setelah sebelumnya ketus menolak. Singkatnya, Martabak Bangka terlalu menyederhankan dan terlampau instan.


Hampir 90% dibintangi oleh masyarakat lokal (termasuk cameo Gubernur Bangka Belitung, Erzaldi Rosman) wajar apabila mereka terlihat kaku dalam melakoni adegan mengingat ini adalah kali pertama mereka tampil dilayar. Ramon Y. Tungka setidaknya tidak tampil mengecewakan meski chemistry-nya bersama Ario Astungkoro sebagai pria asal Bandung urung dirasakan. Pemandangan Danau Kaolin Aek Biru dan Pantai Batu Bedaun setidaknya berhasil ditangkap secara indah lewat teknik kamera cekatan oleh sinematografer debutan, Syamms Lefty yang seharusnya layak mendapatkan hasil sepadan dari keseluruhan penceritaan.


SCORE : 2/5

Posting Komentar

0 Komentar