Terkait penggunaan judul, The Hunt adalah versi alternatif. Sebelum rampung proses produksi. Red States and Blue States adalah judul asli. Ini kemudian dieliminasi (meski nyatanya hanya tersebar dari pihak dalam) pasca filmnya geger dan santer mendapat kecaman publik setelah aksi salah kaprah terhadap sumber materi yang merujuk pada frasa "basket of deplorables" yang digunakan oleh Hillary Clinton selama kampanye pada pemilihan presiden Amerika Serikat (2016) selaku opsisi terhadap setengah pendukung Donald Trump. Tak tinggal diam dan merasa dirugikan, Trump kemudian buka suara secara tersirat dalam unggahan twitter-nya sebelum penundaan filmnya dilakukan karena aksi penembakan masal terjadi di Dayton dan El Paso.
Sempat tayang di bioskop selama beberapa hari sebelum datangnya pandemi-yang mengakibatkan pihak distributor filmnya memilih jalur untuk menayangkan filmnya di video on demand (VOD), The Hunt dibuka oleh sebuah percakapan group WhatsApp mengenai sebuah perencanaan pemburuan, setelahnya para partisipan melakukan perjalanan menggunakan jet pribadi yang kemudian diakhiri dengan sebuah insiden berdarah.
Selanjutnya kita diperlihatkan pada sebuah hutan luas dengan sebelas orang tak dikenal terbangun dari tidurnya, mendapati mulut mereka ditutupi dan tak lama kemudian datang sebuah serangan yang menewaskan banyak korban. Rupanya, serangan itu berasal dari aksi permainan para borjuis elit dalam upaya melenyapkan mereka yang menyandang status rakyat jelata dan bermasalah di sosial media.
Ditulis naskahnya oleh Nick Cuse dan Damon Lindelof (Watchmen, Lost, The Leftlovers), The Hunt sempat mengecoh penonton pada paruh awalnya-mengenai siapa "the choosen one" sebenarnya, pada titik ini duo penulis naskah berhasil memainkan sebuah puzzle setelah penonton mengira bahwa sang karakter utama adalah Yoga Pants (Emma Roberts) bahkan Trucker (Justin Hartley) setelah sutradara Craig Zobel (Great World of Sound, Compliance, Z for Zachariah) membawa cerita berdasar sudut pandang keduanya. Baru, setelah babak pertama usai, kita mengenal Crystal (Betty Gilpin) sang protagonis utama filmnya.
Keberhasilan tersebut dilanjutkan oleh penokohan Crystal yang merupakan sosok wanita tangguh nan tak banyak bicara. Kepiawaian Gilpin memberikan bobot lebih terhadap karakternya yang begitu gampang disukai, terlebih kala ia tanpa tedeng aling-aling meringkus para pemburu berbekal ilmu militer pula penugasaan di Afghanistan yang pernah ia jalani. Situasinya kini berbalik, ketika yang diburu memburu sang pemburu.
Mungkin premis tersebut bukan baru, setelah sebelumnya kita melihat hal serupa terjadi pada Ready or Not (2019) yang bahkan membawa kritisi serupa. Nantinya perjuangan Crystal akan bermuara pada penjahat yang paling kuat sekaligus pemimpin komplotan sang pemburu, Athena (Hilary Swank). Serupa Gilpin, Swank memancarkan aura yang bisa saja membuat pria ciut nyalinya berbekal melihat tatapannya saja. Pun, terkait penempatannya yang sengaja dirahasiakan, memberikan sebuah kejutan berupa pembalikan yang sebelumnya telah Zobel lakukan guna mengakali dan menebus sebuah hint di awal.
Progresi alurnya sudah menampilkan sebuah gebrakan di paruh awal, yang kemudian harus terkendala struktur pasca bergerak di paruh kedua yang seketika menurunkan tensi penuh filmnya. Ini sejatinya bisa diakali, andai Zobel menempatkannya di paruh awal tanpa harus mengurangi sebuah kenikmatan. Namun, jika opsi tersebut dipilih-maka tak akan tercipta sebuah kelokan yang cukup menyenangkan itu.
The Hunt bisa saja menyandang predikat another Hunger Games movies jika memilih jalur konvensional dengan menempatkan penceritaan sepenuhnya di lapangan pemburuan. Saya tak keberatan dengan hal itu, meski itu akan mengurangi niatan awal berupa menyampaikan sebuah kritisi politik bernada sarkastik yang ditampilkan lewat jalur komedik. Tak sepenuhnya bekerja, meski beberapa diantaranya sanggup menyulut tawa, sebutlah jokes mengenai salah satu kematian karakternya yang melibatkan sebuah perangkap besi di dalamnya.
Pun, demi memperbesar muatan politik, naskahnya sempat memainkan sebuah anekdot berupa cerita "the Jackrabbit and the Box Turtle" versi The Tortoise and the Hare hingga beberapa kali menyebutkan-bahkan menerapkan novel satir politik, Animal Farm yang ditulis George Orwell. Sebutlah Manor (nama kandang hewan dalam Animal Farm) yang digunakan sebagai markas berkumpulnya para borjuis hingga menempatkan babi yang dinamai Orwell yang merupakan tokoh utama dalam cerita Animal Farm.
Pop culture tersebut sejatinya bekerja terhadap cerita baik itu secara tersurat maupun tersirat. Sungguh, sebuah keputusan yang cekatan dalam hal pemanfaatan. Pertanyaannya adalah: Apakah The Hunt adalah tontonan yang memuaskan? Jawabannya tentu bukan (menilik keseluruhan filmnya yang bisa tampil lebih baik lagi). Apakah The Hunt adalah tontonan yang menyenangkan? Saya dengan senang hati menjawab ya.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar