Ketika horor tanah air tengah merangkak maju dan perlahan mulai menampilkan kualitas diatas rata-rata, Janin masih jalan di tempat dan setia terhadap pakem di mana horor harus identik dengan jumpscare yang memecahkan gendang telinga, penampakan yang sering ditampilkan dan keingintahuan beserta ketakutan tokohnya menjadi sebuah permainan utama filmnya. Pemandangan seperti ini jelas keliru, menandakan bahwa sang pembuat belum mengerti sepenuhnya akan esensi horor itu sendiri. Tak mengherankan jika Janin bernasib demikian-setelah saya melihat bahwa naskahnya sendiri ditulis oleh Evelyn Afnila, sang maestro yang telah memberikan kita tontonan seperti Keluarga Tak Kasat Mata (2017), Roh Fasik (2019), Uka-Uka the Movie: Nini Tulang (2019) hingga Surat dari Kematian (2020) yang luar binasa itu.
Plotnya sendiri sederhana, mengenai Dinar (Jill Gladys) yang tengah menanti kelahiran anak pertamanya bersama Randu (Reuben Elishama Hadju). Kebobrokan naskahnya sudah terlebih awal ditampilkan tatkala Dinar menanyakan mengapa perutnya tiba-tiba bergerak sementara sang Randu menjawabnya dengan kalimat "kamu kan lagi hamil sayang". Sungguh sebuah pertanyaan dan jawaban yang menandakan bahwa keduanya tak memiliki pengetahuan. Ibu hamil mana yang tak mengetahui bahwa jabang bayi itu hidup dan bisa bergerak?
Kamar sang buah hati telah mereka siapkan lengkap dengan segala peralatannya. Namun, Dinar mengeluhkan bahwa dirinya kerap melihat penampakan di rumah ketika sang suami pergi bekerja. Mengikuti formula serupa kompatriotnya, Randu jelas menolak percaya. Gangguan semakin intens menimpa Dinar, mereka pun mencurigai bahwa semua ini terjadi setelah kedatangan Bu Sukma (Meriam Bellina), tetangga baru mereka.
Merupakan debut penyutradaraan pertama bagi Ook Budiyono, Janin memulai ceritanya dengan tancap gas lewat serangkaian jumpscare-fest memalukan. Tak perlu menunggu waktu lama untuk melihat wujud sang hantu yang kentara mengandalkan CGI dalam penerapannya. Wujudnya sama sekali tak menyeramkan, menggelikan iya. Pun, dalam penerapannya ketika Ook Budiyono hendak menampilkan jumpscare, kehadirannya dapat begitu mudah tertebak, yang kemudian terasa menjemukan kala keputusan merepetisi dilakukan.
Dari sekian banyaknya jumpscare, hanya satu saja yang behasil tepat sasaran. Itupun telah diungkap dalam trailer-nya yang menampilkan rambut menggerai di langit-langit, sementara sisanya adalah deretan penampakan yang menggelikan. Naskahnya sempat memainkan twist yang gagal tersampaikan akibat kurangnya pendalaman, sejurus kemudian, Janin terpapar sebuah kebodohan yang menyebabkan kematian konyol salah satu tokohnya.
Alurnya klise, dialognya dipenuhi oleh kalimat baku yang membuat pengucapannya terasa kaku. Singkatnya, Janin dipenuhi oleh nuansa cheesy-meski apresiasi jelas patut diberikan kala naskahnya tak muluk-muluk menyembunyikannya supaya terkesan menawan. Sadar akan hal itu, Janin bahkan sempat melahirkan satu momen yang jarang saya saksikan dalam khasanah horor tanah air masa kini-berupa kemampuan hantu terbang dan membawa sasarnnya ke langit.
Urusan kualitas jelas bahwa Janin tak memikirkan hal itu. Pun, ditilik dari segi filmis naskahnya amat berantakan. Sebutlah kehadiran Tristan (Arnold Leonard) yang amat dipaksakan-kalau bukan hanya untuk memberikannya sebuah momen dramatisasi nihil dampak. Janin butuh pendalaman lebih agar filmnya tak tampil tertatih.
Semakin menegaskan hal itu ialah ketidakmampuan tim artistik memberikan kecerahan dalam proses editing filmnya, keseluruhan adegan kebanyakan tampil gelap, menyulitkan saya untuk mengamati apa yang dilakukan karakternya-meski setelahnya berujung pada sebuah kehampaan nihil kepentingan. Pun, berangkat dari keluhan tersebut nasib akhir dari Janin pun mengamini pernyataan serupa.
SCORE : 1/5
0 Komentar