Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - EJEN ALI: THE MOVIE (2019)

 

Ejen Ali: The Movie kembali membuktikan bahwa perihal animasi-sineas Malaysia sudah berada di depan sinema kita, setara dengan Hollywood mungkin belum, tetapi satu hal pasti, mereka paham betul bagaimana menampilkan sebuah spektakel memadai, khususnya bagi anak-anak, umumnya bagi penonton dewasa. Datang dari WAU Animaton yang bekerjasama dengan Primeworks Studios, Ejen Ali: The Movie menjadi film animasi pertama keluaran rumah produksi keduanya, yang bukan mustahil-setelah pencapaian gemilang secara finansial (budget RM 6.5 juta, pendapatan RM 30.8 juta) membuka film animasi lainnya.


Saya memang tak mengikuti serial Ejen Ali yang sudah berlangsung selama dua musim (2016-2017), meskipun demikian, sutradara Muhammad Usamah Zaid (Ejen Ali, Upin & Ipin) menjadikan filmnya berdiri sendiri tanpa harus membuat penonton tersesat akan alurnya. Dibuka dengan sebuah flashback 15 tahun yang lalu sebelum linimasa filmnya, Muhammad Usamah Zaid tak tampil basa-basi dalam membangun sebuah pondasi, kita diperlihatkan pada aksi dua agen, Aliya (Salina Salmee Mohd Ali) dan Niki (Nabilah Rais) yang tengah menjalankan misi mengambil "jantung" bagi orang tua angkat Niki yang terkendala tatkala sekelompok anggota rahasia hadir mencegat dan berujung pada tertangkapnya Aliya.


Di masa sekarang, Ejen Ali (Ida Rahayu Yussof) adalah agen yang bekerja untuk MATA (Meta Advance Tactical Agency) setelah tak sengaja mengaktifkan sebuah alat canggih bernama IRIS (Infinity Retinal Intelligent System). Bersama Bakar (Shafiq Isa) serta Alicia (Noorhayati Maslini Omar) dan para agen lainnya, Ali bertugas untuk menjaga dan melindungi kota Cyberaya dari berbagai ancaman.


Dimulai dengan menyelamatkan sang Gubernur Dato' Othman (Abu Shafian Abd Hamid) yang mengalami serangan ketika berada di pesawat, Ali merasa bersalah kala hampir saja gagal dalam misi setelah kedatangan Ejen Fit (Megat Zarin) dan Ejen Bobby (Ahmad Sufian Mazilan) menyelamatkan keduanya. Rasa bersalah Ali semakin menjadi, tatkala di rumah sang ayah kurang memberinya perhatian akibat sibuk bekerja.


Seolah belum cukup, Ali kini merasa posisinya tersisihkan pasca MATA merilis IRIS Neo yang bisa digunakan oleh seluruh anggota MATA. Dalam misi menyerang penjahat, Ali bertemu dengan Niki-yang kini menjadi anggota sayap kiri, menjadi pembela bagi rakyat yang terpinggirkan akibat pembangunan Cyberaya. Semakin dekat, kala Ali mengetahui bahwa Niki adalah sahabat ibunya, Aliya. Terdorong melakukan dan melanjutkan hal yang sama seperti sang ibu, Ali memutuskan untuk membantu Niki dan menolong para masyarakat yang membutuhkan.


Ini berarti Ali menjadi agen ganda yang keberdaannya tak diketahui MATA. Tentu, tak butuh waktu lama untuk MATA mengetahui bahwa Ali adalah pengkhianat, membuatnya diburu para agen lain. Dalam prosesnya, Muhammad Usamah Zaid merangkai sebuah sajian yang menyenangkan dengan memanjakan penonton lewat ragam aksi kejar-kejaran, melengkapi sebuah sarana hiburan yang juga pada kesempatan ini turut ia manfaatkan kala unjuk gigi memasukan sub-plot penting mengenai dampak lingkungan yang merugikan sebagian masyarakat. Terkesan berat memang sebagai tontonan anak-anak, namun, apa yang ditampilkan Zaid sendiri tak berujun pada aspek yang memberatkan, melainkan memberikan cakupan lebih bagi naskahnya.


Ditulis naskahnya oleh Zaid (bersama enam penulis lainnya termasuk Shafiq Isa), Ejen Ali: The Movie sama halnya dengan BoBoiBoy Movie 2 (2019) yang sarat akan kultur karakternya, di mana masing-masing karakter memiliki ciri khas dan mewakili beragama ras. Pun, aspek animasinya-seperti yan telah saya singgung diatas-tampil mumpuni dalam menampilkan sebuah gerak aktif tiap adegan.


Secara kuantitas, Ejen Ali: The Movie memang tanpa cela, lain halnya dengan kualitas filmnya yang tak sepenuhnya sempurna. Kentara terlihat jelas pada menit awal hingga pertengah film, Zaid keteteran dalam menampilkan ragam konflik utama yang tersaji secara draggy. Mulanya saya menebak bahwa Ejen Ali: The Movie ialah mengenai pencarian jati diri Ali, pun, sempat filmnya berulang kali menyiratkan bahwa Ali amat merindukan sosok Ibu.


Setelahnya, apa yang ditampilkan Zaid adalah murni spektakel yang mengamini harapan para penontonnya. Itu berhasil dilaksanakan-bahkan melampaui ekspetasi kala filmnya turut memberikan sebuah kelokan berupa twist yang meski bukan baru-tampil efektif. Semakin baik ialah filmnya turut memberikan motif manusiawi terhadap sang villain utama.


Third-act yang diniati sebagai jalan menjawab semua persoalan tampil dengan menghubungkan dua jawaban, pengadeganannya tampil cukup rapi dan sempat memberi sebuah momen emosional lewat pertemuan Ali-Aliya di alam cyber. Meski tak sampai membuat air mata berlinang, saya merasakan rasa haru yang cukup dalam ketika keduanya berbicara mengenai sebuah kenangan dalam adegan berpelukan yang meluluhkan pikiran dan perasaan.


Konklusinya memilih jalur aman dengan mengandalkan jalan deus-ex-machina sebagai penyelesaian. Pun, jawaban atas keluhan masyarakat terpinggirkan diselesaikan secara mudah lewat jalur perdamaian. Jika ditelisik lebih dalam, Ejen Ali: The Movie mungkin bermasalah dalam memilih langkah. Namun, kembali lagi pada pertanyaan awal, apa yang diharapkan pada tontonan yang sedari awal murni sebagai hiburan?


SCORE : 3.5/5

Posting Komentar

0 Komentar