Premis Lorong sejatinya menarik. Berpotensi mengecoh penonton dengan mengaburkan kebenaran dan halusinasi. Singkatnya, Lorong bisa jadi tontonan semacam Flightplan (2005) yang menyulut atensi dengan memainkan opini pribadi. Sayang, niatan tersebut urung terlaksana kala Lorong sendiri kesulitan dalam mengejawantahkan naskah miliknya yang terjebak pada sebuah pola repetitif yang melelahkan. Klise? Memang.
Setelah melahirkan, Mayang (Prisia Nasution) dikejutkan dengan berita bahwa anak pertamanya bersama sang suami, Reza (Winky Wiryawan) telah dinyatakan meninggal. Mayang dengan tegas menolak dan yakin bahwa Reno (nama yang nantinya hendak diberikan kepada sang buah hati) masih hidup. Bukti fisik berupa foto dan surat kematian telah ditunjukan oleh dr. Vera (Nova Eliza), namun, Mayang tetap tak bergeming dan bahkan memutuskan untuk mencari sang buah hati sendiri.
Nantinya, cerita akan menyoroti Mayang dalam mencari sang buah hati, di mana adegan akan menampilkan pola berikut: Mayang bangkit dari ranjang-mencabut infus-menyusuri lorong-berteriak-ulangi. Reptisi memang bisa diakali, terbukti dengan banyaknya sutradara di luar sana yang sudah membuktikannya, sebutlah dalam film bertema time loop macam Happy Death Day. Ini bukanlah perihal pola melainkan kemalasan dalam bercerita.
Naskah yang ditulis oleh Andy Oesman (The Sacred Riana: Beginning) memang sejatinya tak memiliki daya hingga tak sanggup untuk menjawab pertanyaan sederhana semisal "Apakah Mayang benar-benar halusinasi?" yang semula dijadikan sebuah pondasi. Ketimbang memainkannya, naskahnya kemudian mengungkap kebenaran sebelum waktunya, yang mana membuat Lorong kembali berjalan ke ranah yang berbeda. Apakah ini sebuah langkah berani? Bisa dibilang iya, meski terlalu banyak resiko.
Benar saja, jalinan ceritanya memasang pemaparan baru yang ditujukan membuka sebuah twist setelah membuang paruh pertama dan kedua dengan sebuah kehampaan. Ketika hendak memainkan sebuah teritori baru, Lorong pun mengalami sebuah hambatan kala paruh ketiga terlampau melelahkan. Alhasil, apa yang ditampilkan di layar pun sudah kehilangan ketertarikan sebelum sepenuhnya diungkap kebenarannya.
Twist-nya berpotensi tampil menyenangkan kalau tak dibarengi sebuah kecanggungan. Terdapat referensi terkait pemaparannya yang melibatkan judul seperti Rosemary's Baby-nya Roman Polanski hingga Suspiria-nya Luca Guadagnino. Sayang, harapan tersebut urung terjadi akibat konklusi terlampau tampil tiba-tiba tanpa sebuah planting sebelumnya.
Selaku kali pertama sutradara Hestu Saputra (Cinta tapi Beda, Hujan Bulan Juni, Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar) mengarahkan horor, kentara Hestu belum menguasai teknik. Permainan kamera yang kurang mencuatkan kengerian hingga konklusi yang seharusnya tampil berani andai melipatgandakan kekerasan dan darah adalah salah satu kelemahan yang diantaranya gagal tersampaikan.
Saya terlampau sibuk menyebutkan beragam kelemahan yang seharusnya bisa dimaafkan hingga melupakan kesalahan terbesar Lorong dalam menggulirkan roda penceritaan. Ini merujuk pada keterpaksaan dalam menampilkan sosok hantu yang sama sekali urung berdampak pada cerita-selain keberadaannya hanya untuk dilihat untuk penonton, bukan dirasakan oleh sang karakter utamanya. Ini adalah sebuah bentuk kekeliruan dalam membenamkan status horor yang selalu identik dengan menampilkan penampakan.
Padahal, kehilangan buah hati untuk pertama kali sudah lebih horor daripada hantu gentayangan, yang sudah jelas terasa fisik dan psikisnya. Prisia Nasution membawa karakter Mayang dengan penuh effort, sayang semuanya urung ditunjang dengan para pemeran pendukung yang seharusnya bisa mengimbangi kekalutan dan kecemasan yang dirasakan Prisa. Sementara saya menanyakan kapan Prisia kembali mendapat film berkualitas setelah berhasil meraih Piala Citra?
SCORE : 2/5
0 Komentar