Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

BLACK WATER: ABYSS (2020)

Black Water (2007) berhasil karena menyangkal buku peraturan genre dengan sebuah kesimpulan segar, berangkat dari hal ini, konsultan sutradara film sebelumnya Andrew Traucki (Black Water, The Reef, The Jungle) menghadirkan sebuah kesegaran baru dengan memindahkan The Descent (2005) bersama pola utama filmnya: serangan buaya. Terdengar menjanjikan memang, meski dalam penuturannya, Black Water: Abyss sama sekali tak memberikan sebuah dobrakan baru selain menerapkan formula oldskul usang yang sama sekali tak berkembang.


Tak sepenuhnya salah, karena di kesempatan itu Traucki memamerkan kapasitasnya dalam memainkan klaustrofobia penonton sementara fokus kamera sepenuhnya menangkap aksi-reaksi karakter, sesekali bekerja dengan baik meski tak jarang tampil tumpul tatkala repetisi dan penguluran kerap dilakukan. Air hitam yang perlahan bergerak lama-kelamaan mulai kehilangan tajinya.


Black Water: Abyss bermula lewat ajakan Cash (Anthony J. Sharpe) yang mengajak keempat sahabatnya yang merupakan dua pasang kekasih, Jennifer (Jessica McNamee) dan Eric (Luke Mitchell) serta Yolanda (Amali Golden) dan Viktor (Benjamin Hoetjes) untuk melakukan spelunking di sebuah gua yang belum terjamah dan baru ia temukan pasca mencari dua muda-mudi asal Jepang yang hilang. Hendak menjadikannya sebagai ladang pundi finansial, mereka justru mendapati bahwa bahaya mengancam pasca badai tropis mulai membanjiri gua dan membawa buaya didalamnya. 


Menggunakan ruang lingkup sempit sebagai ajang keluar dan bertahan hidup sudah cukup bagi Black Water: Abyss menguarkan sebuah kengerian yang bertambah lipat ketika buaya melengkapi sebuah bahaya. Ini bisa menjadi sebuah b-movie yang menyenangkan andai Andrew Traucki mendobrak batas kewajaran dan menghasilkan sebuah kesenangan tanpa perlu melibatkan pikiran. Black Water: Abyss enggan menyentuh ranah itu dan terjebak pada sebuah kebingungan yang berujung kehampaan kala hendak melakukan sebuah serangan.


Kesalahan terbesar Black Water: Abyss adalah ketika naskah hasil tulisan John Ridley dan Sarah Smith (Nerve) tak mempunyai daya cengkram lebih terhadap cerita yang sebatas mengulur calon mangsa yang kemudian ditampilkan begitu murahan tatkala kamera menangkap kejadiannya di air keruh. Tak ada impact lebih setelahnya atau ketegangan yang berubah menjadi besar, karena pada dasarnya karakterisasi masing-masing karakter adalah nol besar.


Semakin menggelikan tatakala Black Water: Abyss menambahkan kadar opera sabun di pertengahan durasi yang kehadirannya kentara dipaksakan demi meraih atensi dan simpati penonton terhadap salah satu karakter sentral di dalamnya. Bagaimana bisa penonton memberikan sebuah koneksi jika barisan konfliknya sendiri ditampilkan dadakan? Tahu bulat memang nikmat di goreng dadakan, jadi jangan samaratakan perihal ini.


Pada akhirnya, Black Water: Abyss memang bukan sepenuhnya tontonan yang sudah sepatutnya dimasukan ke dalam tong sampah, beberapa momen cukup menarik meski tak menghadirkan sebuah urgensi. Konklusinya jadi sebuah bumerang tersendiri ketika Black Water: Abyss menutup puncaknya dengan sebuah kenihilan yang seharusnya tak terjadi dalam menutup durasi. Terlebih ketika usungan pesan empowerment coba digaungkan, meski itu sebatas dipermukaan.


SCORE : 2/5

Posting Komentar

0 Komentar