Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

DARK ENCOUNTER (2019)

Sebagai alien invasion, Dark Encounter banyak mengambil referensi dari sang maestro filmnya sendiri, yakni Steven Speilberg, paling dominan adalah Close Encounters of the Third Kind (1977). Pun, setelahnya Dark Encounter sempat memasukan rasa Interstellar-nya Christopher Nolan di mana dramatisasi mengisi sebuah relasi antar keluarga. Tindakan tersebut tentu bukan sebuah hal yang haram hukumnya diterapkan-melainkan sebagai sebuah bentuk kecintaan sang sutradara terhadap materi utama pula sang maestro selaku kreatornya.


Sutradara itu bernama Carl Strathie, yang pada film panjang keduanya setelah Solis (2018) kembali membangkitkan genre yang sempat mati suri ini dengan segala gemerlap cahaya sebagaimana yang Speilberg lakukan sebelumnya. Kisahnya sendiri menyoroti sebuah kota kecil di bagian Pennsylvania di mana pada saat itu digegerkan dengan menghilangnya anak perempuan berusia 8 tahun bernama Maisie (nantinya diperankan oleh Bridget Doherty) pada tahun 1982.


Setahun berselang, kedua orang tuanya: Ray (Mel Raido) dan Olivia (Laura Fraser) beserta sang kakak, Noah (Spike White) merayakan kepergian Maisie dengan menggelar makan malam yang juga dihadiri saudara mereka, Billy (Sid Phoenix), Morgan (Vincent Regan) dan Arlene (Alice Lowe), turut hadir pula Kenneth (Grant Masters), sheriff setempat yang juga diwawancarai televisi setempat atas peringatan satu tahun hilangnya Maisie.


Duka masih menyelimuti Ray dan Olivia yang merasa bersalah karena waktu itu meninggalkan Maisie sendirian di rumah. Sementara, Noah disalahkan sang ayah yang bersikap dingin terhadapnya. Makan malam yang berjalan kurang lancar diakhiri dengan kepergian Ray yang beralasan hendak mencegah muda-mudi yang menyalakan suar di tengah hutan, kemudian diikuti oleh para lelaki yang turut serta memastikan keberadaannya.


Setibanya di lokasi, mereka dikejutkan dengan sebuah cahaya terang berwarna biru dan kuning sementara gagak mulai terbang untuk berpindah tempat dan ranting pohon berjatuhan secara bergantian. Semakin mencekam ketika Morgan turut menghilang yang membuat mereka memutuskan untuk kembali ke rumah dan mengalami hal serupa. Tambahkan listrik yang mendadak padam dan perabotan mulai berterbangan.


Memanfaatkan ketidaktahuan dan keingintahuan karakternya, Dark Encounter berjalan pelan sementara kamera hasil bidikan Bart Sienkiewicz (The Herd, Solis) sesekali menerapkan long-shoot dengan fokus utama menangkap aksi-reaksi sang karakter kala melakukan investigasi. Fokus utamanya jelas, membiarkan penonton ikut serta larut dalam prosesnya yang mana berjalan sesuai harapan ketika batas keduanya belum jelas kebenarannya.


Hal tersebut efektif menyulut keingintahuan lebih dan atensi sepenuhnya terpatri ketika Carl Strathie yang turut menulis naskahnya melibatkan penontok untuk membuka sebuah tabir misteri sesungguhnya. Semakin indah ketika sepanjang durasi serta berjalannya narasi, pantulan warna biru-kuning menciptakan sebuah efek magis nan estetis dalam raut wajah karakternya, terlebih ketika metode mise-en-scène ditambahkan.


Paruh pertama berjalan menapaki genre science-fiction murni yang mengindikasikan sebuah invasi alien ke Bumi. Namun, Dark Encounter bukanlah sajian yang patuh terhadap satu genre saja setelah unsur thriller serta mystery diterapkan, Carl Strathie pun banting setir mempertebal sebuah drama kala memasukiparuh kedua yang kemudian mengeliminasi pandangan kita terhadap unsur fiksi miliknya.


Persentasinya terbilang kasar, di mana turning point seketika dimainkan tanpa sebuah peralihan guna mencapainya. Benar, bahwa filmnya menampilkan sebuah kejutan yang sebelumnya tak diharapkan-meski setelah menikmati Interstellar-nya Nolan, personanya pun pudar. Dark Encounter pun mengalami sebuah kecacatan logika yang mana sedikit mengganggu tapi setelahnya bisa diterima. Pasalnya, Carl Strathie sengaja meleburkan logika dan mengambil jalan tengah guna membuka usungan pesan miliknya.


Saya sadar, terlalu banyak membandingkan Strathie dengan Nolan serta Spielberg yang mana tak adil rasanya mengingat ini adalah perkara mengenai jam terbang mereka. Dark Encounter memang tak sepenuhnya gagal, saya masih menikmati proses pembedahan cerita yang disajikan oleh Strathie guna mencari pangkal utamanya, meski sangat disayangkan, Strathie tak memberikan sebuah karaktetisasi lebih terhadap masing-masing karakternya yang membutuhkan kedalaman khusus alih-alih sebatas bermain di permukaan.


Setidaknya, Dark Encounter kembali mengingatkan kita bahwa manusia tak ada ubahnya dengan sebuah debu jika dibandingkan dengan alam semesta yang begitu luasnya, itu disajikan oleh Strathie secara tersirat kala menangkap satu-persatu gambaran semesta secara berurutan. Lantas, mengapa manusia selalu bertingkah besar ditengah nyali kecil yang seketika ciut jika dihadapkan pada kebenaran setelah menyembunyikan segala kebusukan? Inilah yang seharusnya kita pikirkan dan renungkan.


SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar