Disutradarai oleh Meghna Gulzar yang terakhir kali menyutradarai Raazi (2018) yang mengedepankan unsur feminisme tinggi, Chhapaak adalah bukti lain bahwa sang sutradara amat menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita, di mana wanita yang menjadi korban opresi para pria diperlihatkan perasaannya dengan tujuan agar penonton dapat memahami isi hatinya. Terdengar familiar memang. Namun, bukankah hal yang familiar kerap terjadi di lingkungan dan bahkan menjadi sebuah perbincangan?
Didasari pada sebuah kejadian yang menimpa Laxmi Agarwal, seorang korban penyiraman air keras (acid) sekaligus penyintas bagi pelarangan penjualan larutan yang masih kerap dijual secara murah tersebut. Nama Laxmi diganti menjadi Malti (Deepika Padukone) dan filmnya sendiri menyoroti pra-kejadian serta pasca kejadian yang menimpanya, di mana penonton dibawa untuk menebak si pelaku utama sementara kamera bergerak fokus terhadap Malti yang kini resmi menjadi korban perlakuan biadab ini.
Ada beberapa tersangka, diantaranya Rajesh (Ankit Bisht) sang kekasih, hingga Baseer "Babu" Khan (Vishal Dahiya), sang tetangga yang kerap memberi perhatian lebih kepadanya. Permainan dengan sedikit sentuhan whodunit ini sejatinya tak sepenuhnya berada pada taraf dominan di mana peralihan cerita yang berjalan non-linier acap kali menghilangkan sebuah permain praduga sepadan. Ini berlaku juga terhadap pacing filmnya yang pada paruh awal kentara cukup membingungkan, di mana tak adanya batas yang menampilkan lini masa waktu kejadian menyulitkan penonton untuk mengetahui mana yang merupakan kejadian masa sekarang maupun sebuah flashback.
Untungnya hal tersebut urung berlanjut kala pengadeganan mulai menaruh fokus sepenuhnya pada Malti lengkap dengan segala proses operasi serta derita batin yang dialami. Pada titik ini, Meghna Gulzar tak lantas menutupi sebuah kesakitan yang dialami sang korban yang berbanding terbalik kala kita mengintip apa yang dirasakan sang pelaku utama. Seketika Chhapaak mulai menampilkan taji yang sebenarnya.
Naskah hasil tulisan Meghna Gulzar bersama Atika Chohan (Margarita with a Straw, Waiting) semakin melebarkan sayap penceritaan filmnya ke ranah courtroom drama di mana perlakuan penyiraman air keras disamaratakan dengan penyiraman air kopi yang jelas tak sepadan. Ketiadaan hukum pasti membuat gugatan tersebut dinilai kurang akan urgensi. Penjualan air keras masih marak terjadi dan yang paling mengerikan adalah tatkala para wanita selaku pelaku kegiatan rumah tangga tak mengeluhkan hal tersebut, mereka masih membutuhkan dan menggunakan air keras sebagai pencuci alat rumah tangga yang menurutnya lebih berharga dibanding keselamatan nyawa.
Chhapaak memang menampilkan apa yang terjadi pada realita sementara para penggiat seperti Malti dan korban lainnya merasa bahwa hal demikian sangatlah mengancam keselamatan wanita di masa mendatang. Untuk merealisasikan hal tersebut, ia pun turut bergabung pada sebuah LSM yang melarang keras penjualan air keras dan mendukung penuh keselamatan para wanita yang menjadi korban penyiraman di bawah pimpinan Amol (Vikrant Massey).
Interaksi Malti dengan Amol melahirkan sebuah banter kalimat kuat yang turut menjadi simbol kekuatan seorang wanita, dalam salah satu adegan ketika Malti memutuskan untuk menari sembari menyanyi pada sebuah pesta perayaan keberhasilannya, Amol melerai karena hal tersebut dianggapnya terlalu berlebihan, sementara balasan Malti merobohkan sebuah stigma, "Aku yang disiram air keras, bukan kamu. Tetapi sikapmu seolah-olah kamulah yang menjadi korban. Aku ingin senang-senang hari ini".
Harus diakui, menuju paruh ketiga, Chhapaak kerap tersandung pada sebuah penyelesaian yang terlalu menghabiskan sebuah ketidakperluan. Ini mungkin sedikit mengurangi kenikmatan, serta sub-plot tak perlu lainnya yang urung tampil mendalam dikarenakan terlalu tampil dipaksakan. Ini mungkin mengurangi kenikmatan, meski terkait usungan utamanya sama sekali tak terbantahkan.
Walaupun demikian, keputusan Gulzar untuk tak mendramatisasi adegan adalah sebuah pilihan tepat. Chhapaak membiarkan penonton untuk melihat sebuah kejadian dan dengan sendirinya menyulut sebuah simpati atas apa yang terjadi. Pun, ketiadaan sekuen musikal membuatnya semakin spesial karena tak berpotensi memecah sebuah pondasi. Cukup dengan iringan Chhapaak Title Track yang selalu menguarkan keadaan, meski pemilihan pengulangan sempat membuatnya terlamapu merecoki sebuah dramatisasi murni.
Deepika Padukone adalah salah satu alasan mengapa Chhapaak bisa tampil sekuat dan sepenting ini, kemampuan sang aktris dalam melahirkan sebuah performa olah rasa memberikan sebuah daya sebenarnya. Tak ada sebuah romantisasi berlebihan yang membiarkan seorang Vikrant Massey bekerja pada sebuah keraguan, sementara Madhurjeet Sarghi lewat perannya sebagai pengacara Malti merobohkan sebuah anggapan pria terhadap wanita yang memutuskan untuk bekerja sembari berkeluarga.
Konklusinya mengamini apa yang semestinya terjadi. Sementara Malti merayakan kembali keberhasilannya, Chhapaak mungkin tak menjamin sepenuhnya perbuatan tersebut tak akan kembali terulang. Ini adalah perihal moral dan perilaku seseorang yang bisa saja membuat dunia (dan kehidupan) makin terasa kelam.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar