Jauh sebelum tenarnya Joker dan Pennywise, masyarakat Amerika sana-terlebih bagi anak-anak, menganggap badut sebagai sosok yang menyeramkan. Semakin menguatkan anggapan bahwa pernah terjadi kasus pembunuhan berantai yang dilakukan oleh seorang badut. Jika menerapkan subjek tersebut di Indonesia, maka, sosok badut akan digantikan dengan ragam makhluk halus. Semasa kecil, ibu saya pun pernah melakukan hal demikian sebagai penangkal agar anaknya diam di rumah dan tak melakukan kenakalan. Sebuah keabsahan, yang lantas menyulut sebuah persepsi belakangan. Apakah perbuatan tersebut sebuah bentuk perlakuan abusif terhadap anak-anak yang mengatasnamakan sebuah pembelajaran?
Menurut psikolog tentu tindakan tersebut adalah sebuah kekeliruan orang tua dalam mendidik anaknya dalam mengatasi kenakalan, secara tak sadar, bisa saja hal tersebut berdampak dan memunculkan sebuah trauma tersendiri. Wrinkles the Clown mempergunjingkan hal demikian, selain membuka fakta bahwa sosok yang pertama kali hadir lewat unggahan CCTV pada tahun 2015 ini tersebar luas di sosial media, menampilkan Wrinkles yang muncul secara tiba-tiba di bawah ranjang seorang gadis cilik.
Kegiatan yang dijadikan pekerjaan oleh Wrinkles adalah memenuhi panggilan orang tua yang menyewa jasanya sebagai penangkal/penakut bagi anak-anaknya yang melakukan kenakalan. Setelah unggahannya berujung viral dan stiker berisikan nomor telepon tersebar di ruas jalan, kehadirannya menghebohkan masyarakat Florida beserta ragam persepsi setelahnya.
Ada yang menjadikan Wrinkles sebagai pahlawan, ada yang menyalahkan perlakuannya karena mengintimidasi secara halus, ada yang mengancam akan membunuhnya serta ada yang memanggilnya secara iseng sebagai bentuk kenakalan kawula muda kekinian. Persepsi berbeda tersebut dijadikan sebagai ladang perhatian oleh sutradara sekaligus penulis naskah Michael Beach Nichols (Welcome to Leith) dalam dokumenter yang secara pelan membuka dalang di balik pakaian badut yang mengatasnamakan dirinya sebagai Wrinkles.
Sebelum mengungkap identitas sang badut, Nichols terlebih dahulu menampilkan pandangan para psikolog, yang kemudian disusul oleh pendapat ekspertis di bidang folklore, mengaitkan fenomena Wrinkles sebagai bentuk perwujudan dari kisah-kisah kontemporer (ex: Bloody Mary, Pencil Charlie) yang dilakukan seseorang berbekal rasa penasaran dan mengunggahnya ke laman sosial media sebagai bentuk perwujudan perlakuan.
Hal tersebut memang memperkaya pembendaharaan film yang kemudian memberikan sebuah urgensi tersendiri-yang kemudian disusul oleh pendapat para anak-anak yang mengutarakan pandangannya terhadap Wrinkles. Hasilnya adalah sebuah tontonan yang menarik untuk disimak-meski berujung membosankan di lain kesempatan.
Pasalnya, Nichols terlalu merepetisi hal demikian tanpa adanya sebuah penjabaran penting yang akan dihantarkan, ini seperti melihat video hasil comotan dari YouTube alih-alih menyaksikan sebagai sebuah film dokumenter yang utuh. Belum sampai tajinya (penonton masih terobsesi dan meraba-raba apa yang akan terjadi) keterburuan Nichols dalam mengungkap sosok dibalik badut Wrinkles ditampilkan di jalan yang salah.
Tak ada informasi yang sepenuhnya terjernihkan. Kita hanya mengenal Wrinkles sebagai seorang pria tua berusia 65 tahun yang tinggal di dalam mobil Van miliknya sembari mengisi kekosongan dengan memancing bahkan pergi ke sebuah tempat di mana ia dapat melampiaskan nafsu birahinya dengan melihat para wanita striptease menari di depannya. Terkait wajah asli sang badut, Nichols menjaga sebuah kerahasian demi memunculkan sebuah kemisteriusan.
Menjelang konklusi, Nichols menampilkan sebuah twist tersendiri. Hasilnya berjalan lancar, meski melucuti tuturan yang semula dihasilkan. Rupanya, Nichols hanya ingin mengolok-olok respon dan penerimaan publik terhadap sebuah folklore yang kebenarannya patut dipertanyakan dan secara tak sadar telah mereka dewakan dan lakukan.
Pemilihan tersebut memang memfasilitasi fenomena masa kini, namun, dalam kaitannya, Nichols salah tempat. Ada sebuah kepentingan tersendiri hadir, meski tak sedikit pula yang tampil mubazir. Keseluruhan Wrinkles the Clown adalah sebuah karya tanpa pijakan, tujuan dan lanjutan.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar