Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

DACHRA (2018)

Berstatus sebagai film horor Tunisia pertama, Dachra yang terinspirasi dari kejadian nyata dan digunakan sebagai suara dari peristiwa (tuduhan santet, kanibalisme, penculikan anak) yang kerap terjadi di Afrika menghadirkan premis sederhana mengenai perjalanan para mahasiswa jurnalistik dalam melakukan investigasi demi memenuhi tugas video mereka. Ialah Yasmine (Yasmine Dimassi), Walid (Aziz Jebali) dan Bilel (Bilel Slatina), pria yang memiliki akses menuju rumah sakit jiwa untuk memenuhi calon narasumber mereka.
 
 
Mereka hendak melakukan wawancara terhadap Mongia (Hela Ayed), wanita yang pada 25 tahun lalu dibantai dan dituduh telah melakukan praktek ilmu hitam dan sihir. Investigasi yang dilakukan tak berjalan lancar, memaksa mereka memilih opsi lain untuk mencari sumber utama, yakni dengan pergi ke Dachra, sebuah desa dekat pegunungan di Tunisia.
 
 
Paruh awal Dachra berhasil mengunci atensi saya, pasalnya kejadian yang digunakan sebagai flashback tersebut mempunyai elemen horor tanpa harus memasukan sosok mengerikan. Dengan menggunakan teknik shaky cam, hasil bidikan kamera Hatem Nechi (The Child of the Lazaret, Shattered Waves, The Scarecrows) menguarkan sebuah kengerian, memperlihatkan unsur horor miliknya kala menangkap tetesan darah yang mengalir dari batu pasca seorang anak disembelih oleh seorang pria misterius dan jasadnya dimasukan ke dalam karung. Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa Dachra membawa unsur okultisme dan kanibalisme sebagai tumpuan kejadian.
 
 
Ditulis dan disutradarai oleh Abdelhamid Bouchnak (Bonbon, Nouba, Alliance), Dachra memang memasang cerita standar khas film horor, di mana karakternya memiliki kecenderungan tinggi terhadap rasa penasaran, karakterisasi dangkal serta tingkah menyebalkan-yang seketika tersadar terdampar di sebuah tempat mengerikan. Namun, ada satu kelebihan utama yang ditampilkan dan kemudian diandalkan sebagai kedok horor utama, yakni lewat sebuah scary imageries berupa usus kambing yang selalu menggantung di jemuran pakaian.
 
 
Bukan hanya itu saja, demi menjaga atensi dan menaikan intensitas, Abdelhamid Bouchnak menyulut sebuah pertanyaan kala mayoritas penduduk Dachra diisi oleh perempuan berpakaian hitam dan enggan untuk bercerita, ini menjadi sebuah ketertarikan tesendiri-yang mana digunakan sebagai bentuk sentilan bagi mereka penganut budaya patriarki.
 
 
Mengedepankan sebuah misteri untuk dijawab, Dachra sejatinya keteteran dalam menampilkan sebuah penebusan. Twist-nya memang terjalin rapi, meski meninggalkan sebuah tanya tesendiri berupa keterkaitan serba kebetulan tanpa adanya sebuah penanaman. Ini memang mengurangi kenikmatan, tetapi, keberhasilan Dachra dalam menyulut kengerian sukar untuk dilewatkan.
 
 
Keberanian menampilkan potongan tubuh atau ceceran darah secara eksplisit patut diapresiasi, yang meski semuanya ditumpukan dalam konklusi, keberadannya tetap menghadirkan sebuah perasaan mual lewat pemandangan yang menjijikan. Unsur kanibalisme-nya mungkin hanya tampil sambil lalu, namun, pengukuhan itu dapat diterima kala gambarnya bercerita.
 
 
Dachra mungkin sukses mengeksploitasi peristiwa yang sudah terjadi dalam balutan kritisi secara tak langsung. Namun, sebagai sebuah film horor yang utuh, kentara terlihat secara jelas bahwa penyutradaraan Abdelhamid Bouchnak masih memiliki pekerjaan rumah yang mesti dipelajari setelahnya, saya menaruh perhatian besar terhadap potensinya dalam menyajikan sebuah body horror, tentu itu akan didapat apabila ia tak terlalu bergantung pada referensi horor Barat yang membuat potensinya tersendat.
 
 
SCORE : 3/5 

Posting Komentar

0 Komentar