Berlangsung secara pelan dan menusuk, Malila: The Farewell Flower adalah sebuah kiasan perihal kehidupan yang penuh dengan kefanaan. Ketika kita dirundung masalah, baik itu yang sederhana ataupun yang menyakitkan, haruskah kita menghadapinya dengan sebuah penerimaan dan menangguhkan semuanya atas nama takdir? Atau menyikapinya dengan berkebalikan? Sutradara Anucha
Boonyawatana (The Blue Hour) tak lantas menjawabnya secara instan-melainkan mengajak kita untuk berjalan beriringan bersama tokohnya lewat sebuah perjalan menuju gerbang penerimaan.
Pitch (Anuchit Sapanpong) dan Shane (Sukollawat Kanarot) adalah dua mantan kekasih yang dipertemukan kembali-seolah takdir merestuinya untuk bersama lagi. Namun, seiring berjalannya fase kehidupan masing-masing, perubahan tentu dialami. Shane kini kembali membawa luka kematian puterinya yang tewas karena serangan piton-yang kemudian ditinggalkan sang istri karena memilih alkohol sebagai pelarian. Sementara Pitch-pasca peristiwa pembakaran sang ibu yang dianggap sebagai penyihir, kini menderita kanker stadium akhir.
Dua pemilik luka disatukan kembali guna merangkai cerita, sementara mereka menyikapinya dengan perasaan menerima-meski sulit mengenyahkan ingatan tentang sebuah persoalan. Pitch dan Shane kemudian menyusuri kembali tempat di mana mereka pernah lalui, yang setidaknya dapat menjadi obat penawar bagi persoalan diri. Serupa perasaan pula kehidupan keduanya yang tak lagi sama seperti dahulu kala, alam pun demikian. Dari sini, Malila: The Farewell Flower seolah menegaskan bahwa masing-masing yang merupakan bagian dari kehidupan pasti akan menggiring pada sebuah perubahan-yang mana merupakan sebuah kepastian.
Ditulis sang sutradara bersama Waasuthep Ketpetch, filmnya menuturkan sebuah perjalanan yang mana akan menggiring karakternya (juga penonton) pada sebuah pemaknaan kehidupan. Itulah mengapa, meski menerapkan formula slow-burning filmmaking, filmnya tak pernah terasa membosankan. Karena sebuah pelajaran, perenungan, selalu di dapatkan.
Pitch menolak melakukan pengobatan konvensial, karena menurutnya itu akan terasa menyakitkan-dengan mengetahui kapan kematiannya akan ditangguhkan. Sementara pengobatan tradisional-tak menunjukan sebuah perubahan, ia justru merasa membaik tiap membuat Bai Sri (rangkaian bunga
untuk upacara adat di Thailand). Menurut Shane itu hanya sekedar sugesti, namun, bukan itu poin utama maupun jawabannya. Ini lebih ke perasaan personal yang membawa pada sebuah ketenangan, yang selama ini Pitch harapkan dan inginkan.
Reuni yang mereka lakukan perlahan membuka sebuah kebenaran akan perasaan. Kita melihat bahwa Shane mengelola perkebunan yasmin akibat didorong kegemaran Pitch merangkai bunga. Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa masing-masing dari mereka masih terdapat perasaan cinta. Namun, bukan cinta jikalau tak selalu menemukan permasalahan. Pasalnya, salah satu tempat kegemaran mereka menjadi tempat di mana puteri Shane di serang piton. Ini kembali mengukuhkan bahwa setiap ada cinta di sana selalu ada duka.
Dan Malila: The Farewell Flower adalah proses melewati dan "memaknai" duka yang sering menerpa. Di sebuah adegan-tatkala Shane dan Pitch melewati sebuah perkebunan, mereka mendapati seonggok bangkai piton menghalangi jalan. Daripada membiarkan, Shane memilih untuk mengambil ranting pohon dan menyingkirkan. Ini adalah sebuah metafora sederhana yang kaya akan makna.
Pun, sewaktu Shane memutuskan untuk menjadi biksu demi kesembuhan Pitch, kematian terlebih dahulu mejemput nyawa sang tujuan utama. Naskahnya tak hanya sekedar membuatnya sebagai bentuk perwujudan kekuatan akan cinta, tetapi, sebagai bentuk sebuah penebusan dan permintaan maaf terhadap sosok tercinta. Dari sini, keinginan lama berjalan beriringan dengan perayaan terhadap sosok tercinta.
Lebih jauh, paruh ketiganya menyoroti kehidupan Shane yang belajar menjadi seorang biksu-yang dituntut untuk menjaga kesadaran serta menghadapi ketakutannya. Salah satu caranya ialah dengan mengitung berapa suap nasi yang disuapkan oleh sang biksu. Pemahaman ini membawa sebuah pemaknaan seiring kita mengetahui beragam filosofi dalam ajaran agama Buddha.
Itulah mengapa penghantarannya kembali menghadirkan sebuah pijakan berarti kala konklusi ditampilkan. Semakin lengkap kala sinematografi hasil bidikan Chaiyapruek
Chalermpornpanich (The Blue Hour) tak ragu menampilkan sebuah pemandangan menjijikan. Itu terbukti kala fase terakhir Shane lalui, yakni memandangi dan bahkan bermeditasi bersama mayat yang telah membusuk. Selain menghadapi ketakutan akan pemandangan mengerikan, ini juga menangkap sebuah pesan penerimaan. Penerimaan untuk bersatu dengan alam yang merupakan tempat kelahiran sekaligus tempat berakhirnya kehidupan.
SCORE : 4/5
0 Komentar