Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

UKA-UKA THE MOVIE: NINI TULANG (2019)

Menggunakan trademark acara Uka-Uka: Gentayangan sebagai reality show yang pernah hits di pertengahan tahun 2000-an, Uka-Uka the Movie: Nini Tulang adalah bukti sebuah ambisi yang tak kesampaian. Hendak membawa sebuah nostalgia, kehadirannya justru menyulut sakit kepala para penontonnya. Terlebih kala filmnya enggan tampil serius dengan membawa segelintiran komedi pengundang tawa, Uka-Uka the Movie: Nini Tulang malah membuatnya sebagai karya yang patut ditertawakan.


Dibuka dengan cukup meyakinkan-yang langsung tancap gas tanpa sebuah perkenalan, opening sequence-nya menempatkan filmnya di sebuah ruang operasi, di mana seorang nini (nenek dalam bahasa Indonesia) dipaksa untuk diamputasi. Benar jika ini dijadikan sebagai sebuah latar belakang, namun fokus utama saya ternyata ambyar-menghadirkan sebuah pertanyaan: Adakah dokter yang melakukan operasi tanpa menyuntikan alat bius dan membiarkan pasiennya meronta-ronta kesakitan? Saya mulai mempertanyakan etika dan pendidikan yang mereka tempuh.


Seketika filmnya merubah fokus, menampilkan kejadian di balik tayangan Uka-Uka yang begitu dipuja para penikmatnya. Terutama mereka golongan muda-mudi yang senantiasa duduk terpaku di depan televisi-yang terdiri dari: Karin (Yoriko Angeline), Doni (Debo Andryos), Rama (Gusti Rayhan), Eja (Reza Aditya) sementara Shelly (Steffi Zamora) hanya ikut-ikutan dan bahkan menganggap tayangan Uka-Uka hanya sebatas gimmick belaka. Tentu, karakter seperti Shelly selalu ada dalam film horor yang tak mempunyai tenaga, mudah untuk menebak bagaimana nasibnya.


Namun, ini bukan perkara seseorang yang akan menarik ucapannya pasca aksi skeptis dilakukan. Nyatanya, ini adalah film horor yang tak tahu tujuan utama filmnya. Seolah dibuat asal jadi, Uka-Uka the Movie: Nini Tulang sebatas mengulang formula lama ketika sineas horror kita mulai merangkak maju menjalankannya. Menurut Ubay Fox (Rasuk, Kembang Kantil, Roh Fasik) horor yang mencekan itu tersusun atas dua elemen: jumpscare sesering mungkin dan scoring semenggelegar mungkin. Bahkan, suara yang ditampilkan filmnya mengalahkan orkestrasi acara dangdutan hajatan, sementara penampakan hantunya mengganggu indera penglihatan.


Naskah yang ditulis oleh Daniel Tito (Bangku Kosong) dan Evelyn Afnila (Keluarga Tak Kasat Mata, Roh Fasik) selain sarat simplifikasi, nihil sebuah modifikasi. Jangankan modifikasi yang dipertanyakan, barisan dialog komedinya pun mengundang dahi untuk berkerut. Anda bisa bayangkan bagaimana lontaran komedi sekelas Opera Van Java dan Pesbukers dipergunakan, jelas muncul sebuah ke-cringey-an.


Ketika keberadaan para kru televisi sebatas sambil lalu dan nihil esensi, kehadiran para pemeran utamanya (yang kebanyakan terdiri dari supporting actor/actress Dilan 1990/1991) menampilkan performa akting sekaku batang kayu. Terutama Gusti Rayhan, sebagai kekasih Shelly, yang melontarkan dialog seperti halnya baru pertama kali membaca naskah-sedangkan Steffi Zamora, sebagai peran utama terjebak dalam trope karakterisasi menjengkelkan ditengah kurang meyakinkan dirinya mengembam peran. Kehadiran Reza Aditya lah yang tampil luwes dan lepas sebagai sosok comic relief. Meski jika ditilak, peran yang ia bawakan setipe karakter khas FTV.


Konklusinya memang sesuai prediksi, sementara jalan menuju konklusi adalah sebuah kegabutan yang hakiki. Ini terbukti ketika para teman Shelly melangsungkan ritual 'penjemputan' menuju alam ghaib. Ritualnya mengharuskan mereka dibungkus kain kafan berwarna-warni. Jelas, ini dimaksudkan sebagai ranjau tawa, ketika melihatnya, tujuan utama sama sekali tak terlaksana. Ayam warna-warni jelas lebih menggemaskan dan lucu dibanding ini.


Terkait sebuah penghormatan bagi sumber materi asli, filmnya menempatkan mendiang Torro Margens sebagai Ki Geblek, paranormal acara Uka-Uka, yang kehadirannya sama sekali nihil substansi. Torro yang merupakan pembawa acara aslinya sebatas dijadikan bahan tertawaan ketimbang memberikannya sebuah penghargaan. Dari sini kita dapat menarik kesimpulan, bahwa para pembuatnya lupa daratan atau sama sekali tak mengenal yang namanya tatakrama. Selain Torro, mendiang Saphira Indah pun turut ambil peran sebagai seorang dukun tanpa kejelasan. Sungguh sebuah penghormatan yang tak sepantasnya mereka dapatkan.


SCORE : 0.5/5

Posting Komentar

0 Komentar