The Man Who Feels No Pain. Demikian judul internasional dari Mard Ko Dard Nahi Hota yang pemilihan judulnya diambil dari salah satu dialog yang diucapkan oleh Amitabh Bachchan dalam Mard (1985). Menandai Vasan Bala (sebelumnya lebih sering menulis naskah untuk film Raman Raghav 2.0, Peddlers, The Lunchbox) dalam debut perdananya, Mard Ko Dard Nahi Hota juga menjadi sebuah surat cinta dari Bala tehadap film yang pernah menemani masa kecilnya sekaligus olok-olok bagi film yang menggunakan formula klise cenderung cheesy, maka terciptalah sebuah sajian unik dan out of the box. Ini kontras dengan pencapaian yang telah diraih dengan berhasil memenangkan segmen Midnight Madness dalam ajang Toronto Internasional Festival 2018 hingga standing ovation yang dilakukan penonton kala diputar di MAMI Film Festival 2018.
Terinspirasi oleh kisah seorang pasien dokter gigi yang tak memerlukan anestesi, Mard Ko Dard Nahi Hota mengisahkan tentang Surya (Abhimanyu Dassani) yang sedari kecil mengidap congenital
insensitivity to pain (kelainan yang meniadakan rasa sakit) yang membuat sang ayah (Jimit Trivedi) memberikan perhatian khusus kepadanya, termasuk memakain segala peralatan ketat seperti goggles. Ini digunakan sebagai alat pelindung-agar menjauhkan Surya dari kepatahan tulang atau kecacatan mata. Surya bisa saja terluka-meski rasa sakit tak pernah ia rasakan.
Akibatnya, Surya dilarang keluar rumah, terlebih setelah ia dikeluarkan dari sekolah. Surya mengisi rutinitas hariannya dengan ditemani sang kakek (Mahesh Manjrekar) yang senantiasa membimbingnya pula mengenalkannya dengan kaset VHS berisikan film Kung Fu serta bela diri-yang menjadi kesukaannya. Dari sini, kepribadian Surya terbentuk kala ia bercita-cita menjadi seorang martial artist.
Keinginan Surya belajar bela diri tak semata-mata dipicu sebagai hobi, motivasi lain turut menyokong-yakni berupa sebuah kecelakaan yang menewaskan sang ibu (Shweta Basu Prashad) di tangan perampok serta demi melindungi sahabat masa kecilnya, Supri (Radhika Madan) yang menjadi korban kekerasan ayahnya yang alkoholik.
Dari sini timbul sebuah dua kutub berlawanan yang membentuk sebuah dinamika antara seorang pria yang tak pernah merasakan sakit dengan seorang wanita yang kerap merasakan sakit-bahkan telah menganggapnya sebagai teman yang sering ia rasakan dalam kehidupan. Intensi ini begitu menarik, dan Vasan Bala merangkainya dengan telaten di mana relasi keduanya terbentuk kembali lewat sebuah pertemuan yang tak disengaja-di samping keberadaanya kembali membuka cerita lama.
Tentu ini tak cukup guna merangkai cerita, poin lain-yang turut membuka bagi berangsungnya sekuen aksi ditampilkan, yakni lewat keberadaan Karate Mani (Gulshan Devaiah) yang dalam sebuah rekaman mampu mengalahkan 100 orang dengan pria berkaki satu sebagai lawan. Ini tentu bukan sebuah tandingan-yang kemudian membuat Surya kagum bukan kepalang.
Cerita menemukannya dengan karakter idola, yang kemudian turut membantu persoalan pibadinya. Ini terdengar seperti sebuah cerita sarat kebetulan-yang keberadaanya takan terjadi di dunia nyata, pun, kelihaian seseorang berbekal menonton video VHS takan menjadikan seseorang begitu mudah dalam melakukan serangkaian aksi bela diri. Ini bukan sebuah persoalan yang mesti diperdebatkan, karena pada dasarnya Mard Ko Dard Nahi Hota sedari awal menolak untuk tampil realis-yang tak haram hukumnya jika diterapkan.
Justru, pemilihan ini menjadi jalan terlaksananya visi Vasan Bala dalam menghadirkan sekuen aksi sarat pengadeganan dan penyuntingan cepat-yang mengingatkan saya akan gaya Edwar Wright. Bala ingin bersenang-senang lewat karya perdananya, yang kemudian ia wujudkan lewat misi menyajikan sebuah tontonan sarat kesenangan.
Meski tak sepenuhnya mulus, ide liar Bala dalam mengemas adegan acap kali menciptakan sebuah kerumitan yang tak seharusnya diterapkan-meski beberapa diantaranya sanggup tepat sasaran. Pun, pola yang dilakukan kerap direpetisi dalam merangkai adegan yang kemudian menciptakan sebuah pekerjaan yang semestinya tak terlalu ditekan.
Untungnya ini tak sepenuhnya berjalan, Mard Ko Dard Nahi Hota tak lantas kehilangan persona kala Bala mula menampilkan kembali kesenangan yang diinginkan. Ini terbukti lewat sebuah konklusi yang menampilkan sekuen aksi over-the-top sekaligus membuka lakon bintang para performanya.
Sebagai debutan, Abhimanyu Dassani melakukan sebuah pekerjaan yang diluar dugaan, hasil yang ia lakukan ketika melakukan pelatihan terbayar lunas di layar, terlebih kala ia menampilkan sebuah aksi akrobatik menawan. Radhika Madan di peran keduanya pasca Pataakha (2018) yang mencuri perhatian, kembali mengukuhkan bahwa dirinya adalah salah satu aktris menjanjikan, Radhika selain membawa rasa women empowerment menampilkan sebuah ketangguhan kala ia dapat melumpuhkan lawan hanya bersejatakan kain tipis. Gulshan Devaiah berjasa karena menampilkan dua karakter bersebrangan sementara Mahesh Manjrekar adalah hati film ini, selain sosok tangguh, kelembutan hati dan perilakunya senantiasa membuat siapapun luluh terhadapnya.
Satu lagi hal berjasa yang ditampilkan Mard Ko Dard Nahi Hota adalah motivasi karakternya yang ditampilkan untuk berani melawan dan merobohkan segala kekangan. Pada saat di mana kebebasan adalah sebuah keharusan yang mesti di gapai, Mard Ko Dard Nahi Hota mendukung hal tersebut dengan membawa sebuah perlakuan bagi perubahan yang signifikan.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar