Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

BALA (2019)

Tontonan seperti Bala dan lainnya adalah alasan mengapa saya begitu mengagumi sinema Bollywood. Ketika Hollywood tengah tergiur dengan tontonan berbasis blockbuster dan sinema kita tengah merangkak dan perlahan membuka genre baru, Bala menjadi sebuah keunikan dan kehebatan Bollywood menyulap drama-comedy sederhana dengan penyampaian yang semestinya. Apakah yang akan ditampilkan sebuah film yang membahas tentang masalah kebotakan pria? Ditangan yang salah, Bala berpotensi salah kaprah, sedangkan di tangan Amar Kaushik (Stree) adalah sebuah sajian sarat hiburan dan pelajaran.
 
 
Balmukund "Bala" Shukla (Ayushmann Khurrana) adalah pria dengan rambut tebal dan mengkilap. Itu benar adanya pada tahun 2005, di mana ia masih duduk di bangku sekolah dan menjadi bintang kelas berkat ketampanan (dan rambut berkilaunya) serta kemahirannya memparodikan adegan dalam film Shah Rukh Khan. Julukan Shah Rukh Khan from Kanpur pun melekat pada dirinya.
 
 
14 tahun berselang, Bala yang kini merupakan salesman dengan krim pemutih wajah sebagai barang jualan-mendapati mahkota sekaligus kebanggan miliknya menghilang. Ia mengidap alopecia (kebotakan dini) yang merupakan faktor turunan dari sang ayah (Saurabh Shukla). Seketika ini menjadi permasalahan besar bagi Bala yang kehilangan identitas dirinya sebagai "pria sempurna".
 
 
Paruh pertama Bala, menyoroti sang tituler karakter mencoba segala cara untuk menumbuhkan kembali rambutnya. Mulai dari hal paling sepele semisal menggunkan krim penumbuh rambut hingga yang paling ekstrim semisal mengolesi kulit kepala dengan kotoran kerbau bahkan menggunakan sperma sekalipun. Pengadeganan ini selain tampil menggelitik-membawa sebuah dorongan tersendiri terhadap karakternya-yang mana sebuah hal yang masuk akal terjadi, menjauhkan Bala dari kesan repetisi yang seharusnya mendapat kritisi.


Ditulis naskahnya oleh Niren Bhatt (Ventilator, Wrong Side Raju) bersama Ravi Muppa berdasar cerita nyata sutradara film Bengali, Pavel Bhattacharjee mengenai kehidupan Rohit Sood, Bala berbicara mengenai sebuah standar kecantikan/ketampanan yang ditekankan oleh seseorang berdasar anggapan masyarakat yang mengakar. Bahwasannya orang yang cantik/tampan itu memiliki kulit yang putih dan rambut yang mengkilau-yang kemudian mengeliminasi sebuah inner beauty yang seharusnya dikedepankan-atau prestasi seseorang di bidang pendidikan yang berujung dinomorduakan.


Bala adalah orang yang memegang persepsi tersebut-hingga konformitas pun senantiasa ia lakukan, termasuk dengan mengenakan wig sebagai penutup kekurangan. Berkat usaha kebohongan yang ia lakukan-ia pun berhasil memikat hati Pari (Yami Gautam), selebgram TikTok sekaligus brand ambassador krim wajah yang ia dagangkan. Romansa keduanya tampil menggemaskan di mana kegiatan TikTok dijadikan sebagai pengakuan wujud cinta keduanya. Dari sana, secercah nostalgia pun di dapat ketika lagu hits era 90-an diperdendangkan dengan tarian khas-nya.


Jika Bala menyembunyikan kebotakan sebagai kekurangannya, lain halnya dengan Talika (Bhumi Pednekar), teman masa sekolah yang kerap menjadi korban opresi akibat kulit hitam yang dimilikinya. Berbeda dengan Bala, Talika terbuka perihal kekurangannya-dan tak menjadikan hal tersebut sebagai persoalan-meski kadangkala letupan emosi berani ia keluarkan jika seseorang mengejeknya. Keduanya memiliki persepsi bersebrangan-yang kemudian membawa Bala menampilkan sebuah interaksi love/hate keduanya.


Kita tahu kebohongan Bala nantinya akan terungkap, dan Amar Kaushik menjadikan konflik tersebut sarat akan emosi-setelah sebelumnya bermain dengan komedi tarik-ulur yang membahayakan identitas Bala. Semakin meluas kala courtroom drama ditampilkan-meski dalam durasi tak seberapa lama. Setelahnya, Bala memulai sebuah permulaan penebusan yang mulus tersampaikan.


Satu hal yang mungkin tak dimiliki film bertema serupa-ketika konklusinya ditampilkan, Bala menampilkan sebuah gambaran sesuai kenyataan-apabila konflik serupa menemui jalan. Ini pula mengapa relevansinya terasa nyata ketika sebuah kepastian ditampilkan dan perenungan serta penerimaan adalah jawaban utama dari persoalan.


Lewat Bala, Amar Kaushik yang turut menyentil perlakuan body shaming, membuka sebuah kesadaran baru terkait mengapa perbuatan tersebut tetap terjadi dan bahkan lestari. Selain faktor luar sebagai penyulut, bahwasannya diri kita pun turut menekan dan berupaya menjadikan kekurangan tersebut sebagai musuh utama, alih-alih sebagai hal yang harus diterima.


Ayushmann Khurrana sekali lagi mengukuhkan lewat performanya-bahwa beliau adalah penerus generasi terkuat perfilman Bollywood mendatang lewat variasi karakter unik dan out of the box yang menjadi kegemarannya. Bhumi Pednekar tampil memutuskan urat malu lewat riasan yang mengharuskannya tampil hitam (dengan tunjangan performa luar biasa miliknya) sementara Yami Gautam adalah wujud personifikasi dari budaya kolot mengenai standarisasi kecantikan/ketampanan serta pemuja budaya kekinian. Karakter lainnya pun tak kalah penting-di mana kehadirannya tak sebatas tampil, tetapi memberikan sumbangsih besar setelahnya.


Pada akhirnya, Bala mengajak kita untuk mencintai dan menertawai kehidupan diri kita sendiri. Karena, pada dasarnya kehidupan tak jauh beda dengan sebuah komedi yang kerap ditertawakan. Tertawa berarti melepas semua kebahagiaan dan mengajak diri untuk menerima segala kekurangan yang seharusnya bukan menjadi persoalan. Nobody's perfect, right?


SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar