Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

THACKERAY (2019)

Ditulis dan disutradarai oleh Abhijit Panse (Rege) berdasar cerita dari Sanjay Raut yang merupakan salah satu petinggi kelompok sayap kanan Shiv Sena, Thackeray yang merupakan biografi mengenai Bal Thackeray (diperankan oleh Nawazuddin Siddiqui) adalah salah satu politikus kontroversial asal India yang tak segan melakukan aksi radikalisme pula pemberontakan tanpa gentar lewat barisan kelompoknya yang senantiasa solid membantu, dilatarbelakangi kesamaan yang sama-yakni menuntuk kebebasan bangsa Marathi yang menjadi korban opresi di negaranya sendiri. Pernyataan tersebut memang paradoks, alih-alih menjelaskannya secara runut disamping memberikan pencerahan terhadap orang awam, Thackeray justru tampak sebagai glorifikasi atas cinta buta sang pemuja terhadap sosok yang dikaguminya.
 
 
Ini berarti mengenyahkan cara bertutur sesuai kaidah-selain menampilkan wujud dari sikap baik sang pemipin supaya dikasihi dan dianggap keberadaannya (meski tak harus sampai membenarkan). Di sisi lain, sang pembuat paham betul akan cerita sang tituler-yang mana tak ditutupi kebenarannya (termasuk sisi kontroversialnya). Menjadikan Thackeray murni sebagai biografi yang patut diangkat kisahnya-meski harapan penuh untuk filmnya tak sekedar sebagai ajang menampilkan sepak terjangnya mencuat, tentu jika dibarengi dengan motivasi yang jelas.
 
 
Kisahnya sendiri mengambil latar ketika masa persidangan Bal Thackeray-yang ditengarai terlibat dalam aksi kekerasan terhadap muslim di Bombay, termasuk perusakan salah satu mesjid bernama Babri. Ditengah masa pembelaannya, penonton diajak untuk mengamati seluk-beluk Thackeray pada tahun 1950-an ketika beliau masih bekerja sebagai pembuat karikatur di majalah The Free Press
 
 
Dari sana pula kita pertama kali melihat sisi pemberontak seorang Bal Thackeray, kala ia diminta oleh sang bos untuk mengerem kritik pedasnya terhadap para politikus lewat karikatur yang dibuatnya. Menolak untuk patuh, Thackeray kemudian memilih keluar, bertahan dengan sisi idealismenya, setelahnya ia mendirikan majalah buatannya yang ia beri nama Marmik.
 
 
Pun, pasca kita mengenal latar belakang Thackeray, film dengan tegas memilih fokus untuk menyajikan latar belakang terbentuknya gerakan sayap kanan Shiv Sena-yang kemudian mencalonkan diri sebagai partai politik. Thackeray dengan pidatonya yang mampu menimbulkan semangat juang masyarakat bak seorang messiah yang begitu dipuja. Bahkan, kehadirannya kerap menyulut sebuah tragedi.
 
 
Dibantu oleh kamera hasil bidikan Sudeep Chatterjee (Bajirao Mastani, Padmavaat) Thackeray tampil menawan kala sang sinematografer mampu menciptakan gambar sarat semangat juang, mengundang massa untuk mempertahankan hak mereka yang terpapar sedemikian membara di layar. Kala memasuki masa flashback, pewarnaan hitam putih dipilih, yang mana-selain memberikan kesan surealisme, turut menguatkan sebuah kejadian yang tersaji pada masa lampau. 
 
 
Setelahnya, Thackeray kembali ke opsi awal. Sebatas menampilkan wujud cinta buta tanpa pernah merasa ingin melibatkan penonton terhadapnya. Dalam salah satu adegan, Meena (Amrita Rao), istri Thackeray, menyampaikan keluh-kesahnya terhadap stigma masyarakat yang kerap menganggapnya jahat, padahal kehadiran mereka justru membantu masyarakat. Pandangan ini hanya berjalan sambil lalu, nihil dampak, nihil emosi-meski penerapan kontemplatif mengisi. Ketiadaan motivasi yang jelas menghalangi terciptanya simpati, karena sedari permasalahan berlangsung (terutama setelah Thackeray mendirikan partai) beragam permasalahan dan tragedi yang datang silih berganti miskin sebuah motivasi. Pembuatnya beranggapan bahwa mereka sudah paham terhadap kisahnya sendiri.
 
 
Saking percaya dirinya, Abhijit Panse hanya melakukan aksi-reaksi yang terangkum dalam sebuah tragedi yang pernah terjadi tanpa ada niatan mengindahkan narasi. Kadang, pengadegannya melompat begitu saja dari satu tahun ke tahun selanjutnya (meski di paruh kedua, hal ini semakin berkurang) menciptakan sebuah kebingungan pula penempatan non-koherensi sepadan.
 
 
Kalau bukan karena performa sarat penjiwaan seorang Nawazuddin Siddiqui, Thackeray bisa saja menjadi tontonan buruk yang lantas dienyahkan dalam jagat sinema. Ini mengacu pada sikap radikalisme yang secara nyata dibenarkan oleh para pembuatnya. Ketika Thackeray mengelak bahwa keberadaannya menciptakan sebuah perpecahan pula kondisi tak kondusif yang memecah umat beragama, apakah ia lupa atau sama sekali tidak sadar bahwa para pengikutnya mengobrak-abrik pasar pula membakar perkampungan adalah sebuah kewajaran dalam melakukan kebaikan? Tentu, aksi ini sulit diterima apalagi dibenarkan.
 
 
SCORE : 2/5

Posting Komentar

0 Komentar