Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

MANIKARNIKA: THE QUEEN OF JHANSI (2019)

Mengangkat salah satu pahlawan asal India yang memperjuangkan pula mengangkat hak derajat wanita untuk tak tunduk di bawah kepala pria (baca: penjajah), Manikarnika: The Queen of Jhansi, dalam tuturannya sangat penting untuk disimak. Dari sini, filmnya menyentuh ranah pemberdayaan wanita yang tak kalah kuatnya dengan pria sebagai penguasa. Sayang, langkah mulia tersebut urung mencapai batas maksimal kala eksekusinya terhalang sebuah kecanggungan.
 
 
Ya, debut penyutradaraan Kangana Ranaut (meski ia mengisi kala ketiadaan Krish yang menyutradarai film N.T.R) bersama Radha Krishna Jagarlamudi a.ka Krish (Gabbar Is Back, N.T.R Kathanayakudu, N.T.R Mahanayakudu) kerap tampil canggung dalam menanngani sebuah momentum. Ambil contoh, kala Jenderal Hugh Rose (Richard Keep) menggantung seorang anak kecil yang merupakan pelayannya karena bernama Lakshmi (nama Manikarnika setelah menikah) ditempatkan di tengah sekuen musikal sarat tarian. Tentu, kondisi ini nihil koherensi, selain membuka ketidakpekaan sang pembuat dalam menempatkan salah satu momen penting miliknya.
 
 
Berlatar di India pada pertengahan tahun 1800-an, Manikarnika: The Queen of Jhansi menyoroti masa kekuasan penjajahan Inggris yang membuat semua kerajaan tunduk (baik itu berupa menyerahkan kekuasaan hingga menundukan kepala sebagai tanda segan). Tentu, perubahan signifikan akan hadir kala Manikarnika alias Manu (Kangana Ranaut) mengambil tampuk kerajaan. Pasca dibesarkan oleh sang ayah (Manish Wadhwa) yang kerap memberikan bimbingan prajurit kepada sang puteri dan Bajirao II (Suresh Oberoi) dari Bithoor, kepribadian Manu membuat Raja Jhansi, Dixit Ji (Kulbhusan Kharbanda)  terpikat olehnya-yang kemudian menikahkan Manu dengan sang putera, Gangadhar Rao (Jisshu Sengupta).
 
 
Dari sini perjalanan Manu mulai berpengaruh, semenjak menikahi Mahraja Gangadhar Rao, Manu mulai belajar bagaimana menjadi figur seorang Ratu yang kemudian membawanya mengamati situasi politik, termasuk melihat penderitaan masyarakatnya yang begitu menderita akibat perilakuan semena-mena bangsa kolonial. Rasa berontak Manu untuk merdeka dan lepas dari belenggu penjajahan semakin membuncah kala melihat sang suami, menundukan kepala kepada Kapten Gordon (Edward Sonnenblick).
 
 
Perlawanan atas penjajah, perilaku seksime, persekusi hingga tindakan misogini menguar kuat dalam Manikarnika: The Queen of Jhansi, membawa naskah garapan K.V. Vijayendra Prasad (Baahubali: The Beginning, Baahubali: The Conclusion, Mersal) bersama Prasoon Joshi (Vishwaroop II, Neerja, Satyagraha) menggulirkan sebuah relevansi yang-pada masa sekarang atau masa depan akan terus diteriakan. Keberadaannya pun menguatkan penceritaan-yang mana turut menjadi pondasi penting bagi tercetusnya sebuah pergerakan.
 
 
Manikarnika: The Queen of Jhansi pun turut melakukan sebuah perlawanan akan budaya tampil lemah, itu disajikan layar lewat sebuah adegan kala Manu enggan melakukan upacara adat sebagai janda dan memilih menyusun strategi perang ketimbang meratapi sebuah kehilangan. Pun, celotehan sang mertua yang mengharuskannya diam di dapur pun ia tak perdulikan.
 
 
Keputusan mengedepankan sebuah empowerment jelas patut diapresiasi. Sementara keharusan menghadirkan gelaran aksi peperangan sama sekali tak mengekang Manikarnika: The Queen of Jhansi dalam melakukan sebuah pengadeganan. Aksi saling tebas pula gelaran ledakan masif dilakukan, menghadirkan sebuah keseimbangan yang layak untuk disaksikan.
 
 
Tentu, ini tak lepas dari performa megabintang dari Kangana Ranaut, Kangana melahap habis gelaran aksi, membabat semua line dengan pasti. Pun, salah satu faktor keberhasilan filmnya adalah berkat kehadirannya.
 
 
Seperti yang telah saya singgung sedari awal, tembok besar yang menghalangi Manikarnika: The Queen of Jhansi untut tampil bersinar adalah penyutradaraan yang kurang memperhatikan timing pula tempo. Kadangkala filmnya penuh semangat, pun tak jarang tampil nihil perasaan kala satu tindakan bisa menghasilkan keputusan besar tanpa adanya sebuah pemikiran matang-matang.  Ini berlaku juga pada sebuah sekuen krusial (baca: aksi peperangan) yang telat tampil panas-karena jatah tampilnya hanya dalam waktu 40 menit terakhir di tengah 148 durasi miliknya. 
 
 
SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar