Black Christmas (1974) garapan Bob Clark menjadi pioner terbukanya film bergenre slasher-yang salah satunya menjadi pengaruh terciptanya Halloween-nya John Carpenter. Film asal Kanada tersebut memberikan sebuah angin segar tersendiri yang lantas dibuat ulang oleh Glen Morgan pada tahun 2006 silam dengan pendekatan lebih modern-tanpa mengurangi substansi utama miliknya. Langkah berani diambil Blumhouse Production yang kemudian memutuskan untuk membuat ulang ditengah respon pula penerimaan film pertamanya berujung pada sebuah kegagalan, menggandeng sutradara perempuan, Black Christmas vokal menyuarakan sebuah perlawanan atas ketidakadilan perempuan. Singkatnya, film ini mengedepankan unsur women empowerment yang marak diteriakan.
Itu dilakukan sedari awal, kala pernyataan Professor Gelson (Cary Elwes) melayangkan keengganannya mengajar buku yang ditulis oleh wanita, menerapkan budaya misoginis yang dianutnya. Pun, setelahnya ia menyebut Riley (Imogen Poots) sebagai "gadis batu" berbekal melihat sikap pendiamnya. Ini belum seberapa, kala Sophia Takal (Green, Always Shine), selaku sutradara menyelipkan beragam perlawanan yang membuatnya lupa daratan, bahwa Black Christmas sejatinya membutuhkan sebuah cerita utuh ketimbang aksi berceramah secara menyeluruh.
Saya tak menentang keputusannya menyelipkan isu feminisme, justru saya mendukung keputusan menyampaikan pesan tersirat sebagaimana Get Out dengan perlawanannya mengecam aksi rasisme. Namun, Sophia Takal bersama April Wolfe selaku penulis naskah keliru atas ambisi melahirkan sajian yang memiliki isi, membawa Black Christmas sebagai ajang propaganda ketimbang wahana menyampaikan pesan. Dari sini permasalah utamanya bermula.
Riley tergabung dalam perkumupulan mahasiswi asrama MKE di Hawthrone College, ia memiliki trauma akut setelah ia dilecehkan oleh sang mantan kekasih, Brian (Ryan Mclntyre) mahasiswa asrama AXO. Meski tak ada yang mempercayai pernyataannya, perlawanan Riley lakukan lewat sebuah tarian berisikan kecaman dalam ajang penampilan bakat mahasiswa-yang lantas ia tampilkan bersama sang rekan: Kris (Aleyse Shannon), Marty (Lily Donoghue) dan Jesse (Brittany O'Grady). Kepuasan jelas didapat, yang kemudian menyulut sebuah ancaman datang di malam perayaan Natal.
Momen mengerikan kemudian datang, di mana nyawa siap untuk dilayangkan. Ini seharusnya menjadi sebuah kesenangan kala Black Christmas mulai menampakan batang hidungnya sebagai sebuah film thriller-slasher. Sayang, harapan menyaksikan sebuah aksi menegangkan seketika luntur kala filmnya hanya sebatas menjalankan sesuai aturan-tanpa mengindahkan sebuah pengadeganan supaya tersaji menyenangkan.
Aksi thriller-nya sangatlah tanggung, di mana ragam aksi pembunuhan dilakukan secara off-screen yang kemudian mengurangi kenikmatan dalam menyaksikan sebuah kebrutalan yang dinantikan. Memasang rating PG-13 tak sepenuhnya menjadi sebuah hambatan yang kemudian mengeliminasi tingkat kesadisan, pasalnya, Black Christmas malu-malu anjing dalam memaparkannya.
Ini yang kemudian menjadikan filmnya tak bernyawa, di mana ketegangan sukar sekali dirasakan. Monotonitas tercipta berkat ketiadaan ketertarikan dalam pergerakan eksekusi yang berjalan sedemikian datar. Kematian karakter berlalu dengan cepat seiring perlawanan sebagai bukti kekuatan perempuan ditonjolkan, belum lagi jika berbicara mengenai sebuah kejelasan motif utama sang penebar ancaman.
Melakukan penyimpangan terhadap sumber materi aslinya semakin menjerumuskan Black Christmas dalam jurang yang teramat dalam. Final-act yang dijadikan sebagai sebuah penebusan pula ajang dibukanya motivasi utama tak membantu jalannya penceritaan-yang kehadirannya sebatas membuka twist nihil kejutan miliknya. Pasalnya, twist tersebut hadir secara tiba-tiba pula gagal dalam menyulut sebuah kejutan pasca sebelumnya telah ditampilkan sedari awal. Ini adalah sebuah kesalahan cukup fatal disamping persentasi (sekali lagi) sarat kata gagal.
SCORE : 2/5
0 Komentar