Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

LINE OF DUTY (2019)

Keberhasilan utama Line of Duty adalah fakta bahwa filmnya memilih jalur sederhana tanpa perlu menutupi segala pernak-perniknya. Ini tentu sesuai dengan ekspetasi yang kita bayangkan tanpa digerayangi harapan-yang mana bukan sebuah kesalahan pula tak haram hukumnya jika diterapkan. Hingga kala semuanya berjalan sesuai aturan, dari sana Line of Duty menghasilkan sebuah kepuasan.


Frank Penny (Aaron Eckhart) adalah polisi yang bertugas menunggu sudut-sudut jalan pasca sebuah kesalahan yang tak disengaja menjatuhkan posisinya. Kali ini, ancaman datang kala seorang pria mengacaukan suasana-yang tanpa Frank sadari bahwa pria tersebut adalah penculik sekaligus juru kunci keberadaan Claudia (Nishelle Williams), puteri Captain Volk (Giancarlo Esposito) yang diculik setelah gagal mengambil uang tebusan.


Frank yang berniat membela diri, justru dianggap sebagai penghilang kunci. Kondisi ini membuatnya tersudut. Tak seperti kebanyakan film dengan karakter serupa Frank yang menenggelamkan diri dalam adiksi alkohol atau narkotika, Frank memilih jalur pasti, berjuang sekuat tenaga mencari bukti demi menebus kesalahan diri. Meski anggapan miring diterima pula media kerap menggubrisnya, Frank tetap berdiri tegak bahkan mencari solusi. Ini yang saya sukai dari karakterisasi miliknya, terlebih kala sang penulis naskah, Jeremy Drysdale (Grand Theft Parsons, Battlefield 2: Modern Combat) tak sampai menjadikannya sebagai sosok kelewat sempurna, Frank sempat terjatuh, namun itu semua ia jadikan motivasi penuh.


Ditengah misinya turut terlibat seorang remaja bernama Ava Brooks (Courtney Eaton) vlogger berita dengan modal live streaming instagram sebagai bahan mengabarkan. Mudah untuk menyebut bahwa Ava sebagai remaja amatir yang tengah melakukan panjat sosial, semuanya terhindarkan kala sang naskahnya memberikan sebuah pembenaran terkait motivasi Ava-meski kejelasannya bermodal dialog verbal dengan injeksi setipis kertas. Ava adalah remaja yang benci terhadap media yang terlalu menjadikan berita sebagai sorotan utama pasca berlangsung viral-yang kemudian memperkeruhnya sebagai jualan mendobrak rating.


Sebagai popcorn-movie, Line of Duty memang tak bertujuan memberikan sebuah cerita kompleks nan solid, saya sadar betul akan hal itu. Menilik tujuan utamanya, sutradara Steven C. Miller (Submerged, Marauders, Escape Plan 2: Hades) dirasa sukses memberikan sebuah penebusan setimpal terhadapnya. Dalam menjalankan misinya, Frank yang berpacu dengan waktu dihadapkan pada sebuah jebakan yang bisa saja menghilangkan niatan, meski perangkapnya jauh dari kesan bombastis, penyederhanan atas budget menghasilkan sebuah efisiensi sepadan.


Aksinya memang terbilang medioker, namun masih dapat dinikmati kala Steven C. Miller mampu menyulut ketegangan lewat pengambilan gambar kontiniti atau ketika ia memastikan bahwa setiap gerakan yang dilakukan menimbulkan sebuah aksi-reaksi yang mampu mempertahankan atensi. Meski tak berada dalam kadar memuaskan, filmnya sendiri layak mendapatkan perhatian.


Terlebih kala konklusinya ditampilkan, Miller kembali merebut perhatian kala filmnya ternyata melibatkan hati disamping menghadirkan sebuah power of social media-yang mana nyata adanya. Ini tentu sangat relatable dengan kehidupan-yang mana sedikit mengeliminasi kecacatan yang dimiliki filmnya sendiri, sebutlah mengenai latar belakang Frank yang kurang tergali ataupun adegan sarat kebetulan pengulur durasi. Namun, kembali lagi menilik tujuan utamanya, Line of Duty sama sekali bukanlah film memalukan. Ini adalah film sesuai tujuan yang mesti anda luangkan.


SCORE : 3.5/5

Posting Komentar

0 Komentar