Berdasarkan kisah nyata mengenai tiga orang penjaga mercusuar yang menghilang secara misterius di Pulau Flannan, The Vanishing punya modal kuat dalam hal pengembangan-yang kemudian tersaji secara layak dalam menghantarkan tuturan drama psikologis karakternya ketika diambang kebingungan, ketakutan, rasa bersalah hingga tergerus dalam jurang ketamakan yang menghilangkan rasa kemanusiaan. Sayang, The Vanishing enggan tampil total kala ketersediaan naskah tak menyediakan cakupan lebih. Sebatas bermain dalam ranah familiar, yang sejatinya bukanlah sebuah persoalan.
Ini adalah kisah seputar kepergian tiga orang pria: Thomas (Peter Mullan) yang telah berpengalaman dalam menjalankan tugas selama 25 tahun dan baru saja kehilangan istri dan anaknya, James (Gerard Butler), pria yang mengutamakan keluarga diatas segalanya ditengah persoalan ekonomi melanda, serta Donald (Connor Swindells) si pekerja baru yang baru saja diputuskan sang kekasih. Ketiganya hendak menjalankan tugas selama enam minggu di Pulau Flannan yang tak berpenghuni.
Naskah yang ditulis oleh Celyn Jones dan Joe Bone terlebih dulu memaparkan sebuah introduksi secara memadai, mebungkus sebuah komunikasi ketiganya di sebuah dermaga melalui komunikasi singkat (sesekali diterapkan dialog non-verbal) yang kemudian menghasilkan sebuah momen close-up. Ini tampil padat dan tak memakan waktu lebih guna kita mengenal ketiganya-yang seiring melakukan sebuah perjalanan, karakterisasi seutuhnya dapat dipetik sendiri.
Film yang semula berjudul Keepers ini memulai sebuah pemanasan guna menekankan sebuah misteri. Sesampainya di Pulau Flannan kita disodori pemandangan tak mengenakan berupa puluhan bangkai bertebaran di luar mercusuar yang otomatis menyuntikan sebuah ketertarikan. Belum lagi pekerjaan membahayakan menanti, sebutlah memperbaiki lampu mercusuar yang mati.
Thriller sesungguhnya hadir kala Donald menemukan mayat seorang pria tergeletak di bibir pantai dengan sebongkah kayu yang diikat erat bersamanya. Dari sini, The Vanishing mulai bergerak ke ranah kelam, di mana pembunuhan tak sengaja menjadi sebuah persoalan berikutnya. Seiring berjalannya durasi, kita pun mengendus adanya sebuah intensi yang mengeliminasi batas kewarasan ketika dihadapkan pada sebuah ketamakan.
Berjalan pelan cenderung lambat, debut penyutradaraan pertama Kristoffer Nyholm tampil cukup mengesankan kala sang sutradara mempunyai cukup bekal dalam menangani sebuah kekacuan berbasis keheningan. Keheningan ditekankan guna menciptakan sebuah pergulatan emosi nyata para karakternya yang diambang kegamangan, disamping besarnya ketakutan dan keinginan. Gerard Butler adalah yang paling mencuri perhatian, kala raut muka datar menyimpan sebuah perasaan mendalam berupa kerapuhan seorang pria di tengah jenggot lebat yang seolah menjadi lambang kejantanan.
Persentasinya memang disimak, namun, perjalanan menuju titik tujuan terasa melelahkan. Seperti yang telah saya singgung, The Vanishing kekurangan amunisi guna melebarkan penceritaan. Ini berdampak cukup signifikan kala sebuah ketegangan yang diharapkan hanya tampil sesekali mengisi adegan, sementara, sisanya adalah sebuah pemaparan cukup melelahkan-meski tak lantas tampil menjemukan.
Meskipun demikian, tata kamera hasil bidikan Jørgen
Johansson (Flame & Citron, Terribly
Happy, Prague) mampu menghasilkan nuansa atmosferik berupa permainan tempo cekatan. Misalnya, dalam sebuah momen, para karakternya saling bertatap (dalam sorot mata berlainan), yang berkatnya menyalurkan sebuah "makna" atas intensi keduanya, sementara keheningan malam menusuk masuk. The Vanishing jelas memerlukan adegan seperti demikian, ketimbang pemaparan yang telat menghasilkan sebuah gebrakan.
SCORE : 3/5
0 Komentar