Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

THE IRISHMAN (2019)

Melalui The Irishman, Martin Scorsese mulai bergerak ke ranah pasti. Pasca bermain lewat glamorisasi dalam Godfellas (1990) dan Casino (1995) bahkan Gangs of New York (2002). Kini, dalam barisan genre yang melengkapi akhir dari cerita gangsternya, Scorsese tak menjadikan aksi sebagai jualan utama, melainkan memilih studi karakter-yang kemudian membawa penonton dalam hingar bingar serta hiruk pikuk dunia gangster yang amat berpengaruh di Amerika yang semula nyata, namun, bersifat fana.
 
 
Semua digulirkan lewat sudut pandang sang karakter utama, Frank Sheehan (Robert De Niro) mantan veteran Perang Dunia II, yang pada masanya, pernah bekerja sebagai sopir truk pengantar daging di Philadelphia. Karena suatu hal yang hampir menjerumuskannya pada besi penjara, nama Frank terdengar reputasinya oleh telinga Russel Buffalino (Joe Pesci), pemimpin kelompok mafia Buffalino. Perkenalannya dengan Russel membuka jalan bagi Frank kembali menata hidupnya lewat bisnis hitam, menjadikannya seorang "pengecat rumah" dan "tukang kayu".
 
 
Bukan, bukan bisnis di bidang furnitur maupun arsitektur, kata tersebut adalah sebutan bagi seorang "pembunuh bayaran" pula "penghilang korban". Lewat Russel juga, Frank kemudian dijadikan kaki tangan oleh Jimmy Hoffa (Al Pacino), ketua serikat buruh International Brotherhood of Teamsters yang kerap berisitegang dengan pemerintah. Keterlibatan Jimmy Hoffa pula menjadi titik balik di mana relasi mereka sebagai "penguasa" dimainkan.
 
 
Ditulis naskahnya oleh Steven Zaillian (Gangs of New York, American Gangster, Moneyball) berdasar buku nonfiksi I Heard You Paint Houses karya Charles Brandt-yang hingga kini masih diragukan keabsahannya, The Irishman adalah sebuah panggung di mana kekuasan memegang peranan seorang partisipan yang berjuang dalam menjalani kehidupan, merayakan kesenangan, sebelum perkara kematian mengambil tindakan. Begitu nyata, kisahnya mengalun sedemikian solid, membuat durasi 209 menit (alias tiga jam setengah kurang semenit) tak terasa membosankan, yang digantingan dengan sebuah kepuasan penceritaan.
 
 
Pasca pernyataan Scorsese yang menyinggung karya buatan Marvel Cinematic Universe (MCU) sebagai sebuah "taman bermain" ketimbang sinema, bukan bermaksud membenarkan, namun, lewat The Irishman, sang sutradara memberikan sebuah pengalaman sebenarnya terhadap sajian sinema. Dalam tiap adegannya, Scorsese kerap memperhatikan detail terkecil yang menandakan sebuah kejelian dalam bertutur, menciptakan sebuah gerak-lambat maupun cepat yang kaya akan isi ketimbang sebatas menangani.
 
 
Memilih lajur penceritaan non-linier yang-mana membawa filmnya saling melompat dari tahun 1950-an hingga masa sekarang, keberadaannya tak melemahkan, melainkan memberikan sebuah penguatan adegan. Di sisi lain, keberadaannya turut menjadi saksi penerapan CGI berupa penerapan teknologi de-aging meyakinkan, membuat Robert De Niro yang setelahnya disusul Al Pacino tampil dalam performa meyakinkan, melakoni usia muda dengan tanpa keraguan. Meski sulit dipungkiri, kelemahan minor hadir berupa tindakan karakternya sedikit terasa kaku. Namun, itu bukan permasalahan utama yang harus diperdebatkan. Lebih jauh, The Irishman memberikan sebuah kerapian penceritaan.
 
 
The Irishman mengulik bisnis dunia hitam. Itu benar, namun, itu adalah jalan dalam memaparkan pengisahan yang sejatinya lebih didominasi oleh unsur kekeluargaan. Itu didapat ketika bisnis tersebut tak hanya sebatas menghasilkan uang, melainkan turut menciptakan sebuah kepedulian antar-sesama seperti para anggota yang saling mendukung protes yang dilayangkan oleh Robert F. Kennedy terkait eksistensinya. Pun dari sana, turut merekatkan hubungan keluarga Sheehan bersama Hoffman. Seperti Hoffman yang dijadikan figur ayah idaman oleh Peggy (Anna Paquin), puteri Frank.
 
 
Semenjak itu, The Irishman kemudian menampilkan sebuah kutub berlawanan-yang jika dicerna oleh akal sehat, kepastiannya sukar untuk ditolak alias harus terjadi. Scorsese kembali membawa filmnya berjalan menyusuri ironi, di mana kebaikan merupakan tindakan yang sukar dipertahankan, pula kesetiaan patut dipertanyakan. Dari sini, The Irishman menampilkan sebuah kenyataan, di mana sebuah akhiran adalah kepastian. Kematian adalah sesuatu yang mutlak terjadi, Scorsese meyakini itu, menerapkan sebuah keterangan kematian pada pergantian karakter yang tak lantas diberikan sebuah dramatisasi, termasuk dalam sebuah kematian penting tokohnya. Menolak berarti menghasilkan sebuah kedekatan.
 
 
Semakin lengkap, kala scoring gubahan Robbie Robertson  (Gangs of New York, The Wolf of Wall Street, Silence) senantiasa mengisi lewat petikan lagu bernuansa jazz yang mengiringi, menciptakan sebuah romantisasi pekat akan makna yang membuat bulu roma merinding setelahnya. Efektivitas pun tercipta, menyentuh tatanan rasa yang sukar ditolak dampaknya. The Irishman adalah bukti nyata-bahwa suara memilki nyawa.
 
 
Terlebih, itu mengiringi segala aksi-reaksi yang dilakoni oleh jajaran ensembel pemain yang memiliki jam terbang tinggi, menghantarkan sebuah performa apik yang tak tertandingi. De Niro tampil paling dominan, menghantarkan sebuah rasa tersembunyi di balik segala aksi yang dilalui, Al Pacino berbekal kegagahan pula kekuasaan, menjadikan Jimmy Hoffman sebagai panutan pula pusat perhatian, sementara Joe Pesci, yang menolak untuk melakukan pensiun dini, adalah peraih gelar MVP sesungguhnya.


Memasuki konklusi, Scorsese menghantarkan sebuah dampak yang tinggi. Sampai sekarang, tindakan yang dilakukan oleh Frank masih terngiang yang kemudian membawanya pada adegan yang mewakili sebuah perenungan. Ini semakin menguatkan usungan pesan yang dihantarkan, bahwa setiap tindak kejahatan (kriminal) sejatinya akan bermuara pada sebuah balasan, balasan yang mendekati sebuah kematian-yang tinggal menunggu giliran. Pun, dari sini, The Irishman menampilkan sebuah penyesalan yang kemudian mendorong pada sebuah pelajaran, pelajaran memperbaiki keadaan. 


SCORE : 4.5/5

Posting Komentar

0 Komentar