Butuh waktu selama lima dekade dan empat tahun (baca: 54 tahun) bagi Disney untuk mewujudkan sekuel dari Mary Poppins (1964) yang sukses secara kritik dan finansial, disamping perseteruan dinginnya dengan sang pemilik cerita, P.L. Travers yang mengatakan bahwa Disney telah merusak visi dan misi yang dimiliki oleh karakter Mary Poppins sendiri. Sejenak, lupakan peristiwa tersebut untuk menikmati sajian sarat nostalgic-fest milik filmnya yang menghantarkan nomor musikal Supercalifragilisticexpialidocious yang begitu melegenda. Meski sarat akan pembaharuan, Mary Poppins Returns mungkin tak se-ikonis film pertamanya, namun, terkait kemagisan, kentara dapat terasa.
Mengambil penceritaan selang 25 tahun pasca kejadian film pertamanya, tepatnya pada tahun 1930 di London, Jane (Emily Mortimer) dan Michael (Ben Wishaw) kini telah beranjak dewasa. Masih menempati rumah masa kecilnya di Cherry Tree Lane, Michael kini telah mempunyai tiga anak: Georgie (Joel Dawson), Annabel (Pixie Davis) dan John (Nathanael Saleh). Pasca kematian sang isteri yang begitu memukulnya, Michael mesti merawat ketiga anaknya di tengah rutinitas kesehariannya pada era Great Depression. Seolah belum cukup, masalah datang ketika seorang pria mengetuk pintu rumahnya, menyatakan sebuah kabar terkait penyitaan rumah apabila Michael tak melunasi hutangnya dalam kurun waktu tak lebih dari lima hari.
Ditengah kecemasan dan kekalutan, Mary Poppins (Emily Blunt) datang menawarakan bantuan, yakni menjadi pengasuh bagi ketiga anaknya yang terlantarkan akibat persoalan. Meski sempat menolak karena ketiga anak tersebut menilai dirinya cukup mandiri, Mary Poppins tak tinggal diam, sebuah persetujuan didapat kala mereka mulai memasuki dunia petualangan yang lantas mengembalikan sebuah kebahagiaan.
Ditulis naskahnya oleh David Magee (Finding Neverland, Miss Pettigrew Lives for a Day, Life of Pie), Mary Poppins Returns masih menyajikan sebuah petualangan berbalut musikal menyenangkan-meski, sekali lagi, tak se-memorable pendahulunya. Petualangan yang melibatakan barang rumah nyatanya membawa sebuah pelajaran penting bagi anak-anak, selain kesenangan, mereka belajar bagaimana mengakui sebuah kesalahan, mencari jalan keluar pula memperbaiki keadaan. Pesan sederhana itu begitu penting, yang kemudian akan membawa sebuah kepentingan terkait permasalahan utama milik filmnya.
Jika para anak Michael sangat menikmati masa kanak-kanak yang kerap bermain imajinasi. Orang dewasa seperti Michael justru menolak cerita tersebut, membantah atas alasan terlalu mengada-ada. Mungkin, seperti kita yang tengah beranjak atau berada pada masa dewasa, hal demikian sulit diterima dan tak seberapa membantu dalam menjalani realita. Mary Poppins Returns kembali menyuntikan semangat kepada penonton dewasa untuk "tak lupa akan masa kanak-kanak", bagaimanapun juga, masa itu pernah dialami dan dilalui masing-masing orang dewasa.
Persentasi akan urgensinya jelas terasa, meski penyutradaraan Rob Marshall (Chicago, Nine, Into the Woods) sebatas mereplika tanpa menerapkannya secara menyeluruh. Hal ini dikarenakan, separuh durasi diisi oleh sebuah musikalisasi yang mengeliminasi kepentingan utama filmnya. Alhasil, kala beranjak kembali pada poin penting utama filmnya, transisi kasar terasa. Untungnya, tak lantas melucuti keseluruhan filmnya.
Deretan nomor musikalnya mungkin takkan mengendap lama diingatan, namun, terkait pengemasan, Mary Poppins Returns jauh lebih unggul. Selain berkat pemanfaatan CGI memadai ditengah gelontaran dana yang lebih dari cukup, tata pencahayaan pula penerapannya berhasil menciptakan sebuah pemandangan yang memanjakan mata, di mana animasi dua dimensi tampil rapi di tengah sapuan warna menyala miliknya, mengiringi penempatan live-action karakternya yang begitu tertata.
Nomor lagu Trip a Little Light Fantastic adalah favorit saya, menampilkan Mary Poppins bersama Jack (Lin-Manuel Miranda), seorang lamplighter serupa Bert (Dick Van Dyke, turut hadir dalam cameo mengejutkan) di film sebelumnya-yang meyakini kemagisan dan kehadiran Mary Poppins. Marshall merangkai momen tersebut sedemikian cantik lewat gerak tari sederhana nan antik dalam tampilan koreografi menarik. Tentu, ini bukan sebuah kesulitan bagi sang sutradara yang jejak rekamnya-kerap menangani sajian serupa.
Jika Trip a Little Light Fantastic sarat akan kesenangan pula keindahan, The Place Where Lost Things Go berpotensi menyulut air mata. Meski terkait rasa, Rob Marshall kurang menyuntikan DNA tersebut-yang kemudian membuat nomor musikalnya acap kali terasa hampa. Mereka tampil membawa keriuhan, kesenangan pula kedamaian, namun sulit untuk kita merasakannya. Kekurangan jelas cukup berdampak.
Untungnya, semua teralihkan dengan sekejap pasca digantikan oleh pembawaan para pemainnya yang brilian. Emily Blunt memberikan sebuah pembawaan sedikit berbeda dengan Julie Andrews, namun, motivasi utamanya tetap sama. Gerakan mata dan tingkah polahnya kentara menyiratkan sebuah makna. Disusul oleh para pelakon ciliknya yang tampil dengan pembawaan natural, membuat kita mudah memberikan simpati terhadapnya. Meski karakterisasi Jack kerap dipertanyakan (ia dapat hadir di mana saja jika di sana terdapat Mary Poppins) yang kemudian ditambahkan bobot romansa menciptakan sebuah inkonsistensi, Meryl Streep sebagai Topsy, sepupu Mary Poppins, dengan tampilan eksentrik pula aksen Eropa Timurnya, rasanya sulit untuk kita mengalihkan pandangan terhadapnya.
Sebagai sebuah perayaan, kehadiran Mary Poppins Returns jelas mengobati perasaan. Namun, untuk sebuah sekuel, eksekusinya mungkin bisa dikatakan kurang maksimal (sebatas mengulang formula pertama dengan sedikit perubahan). Namun itu tak sepenuhnya dijadikan persoalan, kala filmnya sanggup memberikan sebuah hal serupa pendahulunya, yakni memberikan sebuah kebahagiaan dalam bentuk hiburan.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar