Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

THE ASSENT (2019)

Abaikan tampilan posternya yang terlihat menjanjikan, The Assent adalah sebuah kebingunan kala materi seputar "kerasukan" dipadupadankan dengan agama, sains dan ilmu kedokteran seputar kejiwaan. Niatan menyaksikan sebuah hiburan b-movie dengan segala ciri khas-nya seketika luntur tatkala sepanjang durasi 88 menit, The Assent berjalan pelan, yang kemudian membuat penotonnya kelelahan.



Joel (Robert Kazinsky) adalah seorang pria penderita skizofernia, ia tinggal bersama sang putera tunggalnya, Mason (Caden Dragomer) di rumah peninggalan mendiang sang istri. Keinginan sembuh begitu besar, ia kerap berkonsultasi dengan sang psikiater, sementara ia selalu menomorsatukan sang putera diatas segalanya. Kehidupan harmonis ditengah kondisi sederhana jelas dimiliki keduanya.


Setidaknya, pujian patut diberikan kepada Pearry Teo (turut merangkap sebagai sutradara) yang memberikan sebuah pondasi atas kehangatan keluarga-setelah sebelumnya memberikan sebuah monolog terkait proses seseorang yang mengalami kerasukan-yang nantinya turut memperkenalkan kita pada Father Lambert (Peter Jason), pastor kontoversial yang tersandung kasus pembunuhan pasca menangani seorang bocah yang tengah kerasukan. Tentu, dari sini keterkaitan di dapat, Father Lambert nantinya akan menangai Mason yang diganggu iblis terkuat bernama Abaddon.


Seperti yang telah disinggung, The Assent adalah sajian penuh ambisi-namun tak berisi. Tak peduli seberapa jelas paparan terkait skizofernia-yang hanya berjalan di permukaan serta berbagai teori eksorsis yang disebutkan, masalah utama The Assent adalah soal pemaparan-yang tak lantas diperhatikan. Seolah sibuk membangun penceritaan, secara tak sadar, filmnya sendiri tampil menjemukan akibat nihilnya sebuah ketertarikan.


Penceritaan yang semula bercabang disambung begitu saja tanpa adanya sebuah kejelasan-yang menurut filmnya seolah haram diterapkan. Alhasil, urgensi serta keterlibatan karakternya menciptakan sebuah tansisi tak sepadan, misalnya, pertemuan Joel dengan Father Lambert yang sebatas dilandasi kecurigaan sang pengasuh-yang kemudian dijadikan ajang sang pastor untuk menebus sebuah kesalahan. Dari sini, naskahnya menciptakan sebuah lubang menganga kala karterisasi Joel yang anti-agama-begitu dengan mudahnya percaya akan agama. Perihal sebuah kepercayaan jelas bukan sebuah hal yang remeh-temeh, karakterisasi tak alamiah ini jelas bermasalah dalam hal pemikiran.


Harus diakui, bangunan setting-nya tampil memadai kala pernak-pernik rumah Joel mampu menebarkan aura kengerian berbekal deretan foto seni yang terlihat menyeramkan, namun, itu sebatas pernak-pernik belaka kala jualan horor utamanya tampil off-screen. Pun, riasan hantu (atau monster) tak lantas dimanfaatkan kala sang sutradara sebatas menyelipkan, padahal tata rias praktikal miliknya tampil meyakinkan.


Perihal menampilkan jumpscare, The Assent tampil nihil hentakan pula penempatan, misalnya sebuah sekuen yang menampilkan sang monster, tentu butuh timing sempurna guna menyampaikannya, Teo belum piawai bermain timing, pun demikian dengan pacing. Alhasil apa yang ditampilkan terkesan hambar pula kurang akan sebuah kejutan keseraman.


Hingga kala sebuah konklusi ditampilkan, lagi-lagi The Assent terjangkit formula film yang sepenuhnya dibangun demi menciptakan sebuah twist-yang gagal menampilkan sebuah kejutan. Selain karena sudah terendus sedari pertengahan, twist-nya sendiri sebatas mengulang formula yang telah jamak kita temukan sebelumnya. Namun, pasca sebuah kejelasan monolog awalnya yang sepenuhnya mengenai teori mistis, beralih ke teori medis jelas menimbulkan transisi kasar pula tak relevan.


SCORE : 1.5/5

Posting Komentar

0 Komentar