Girl on the Third Floor menandai dua orang pertama kali terjun ke dunia film. Pertama, mantan pegulat kenamaan WWE, Phil "CM Punk" Brooks-yang menjajal dunia akting, mengikuti jejak John Cena serta Dwayne Johson. Kedua, sutradara debutan Travis Stevens (turut merangkap sebagai penulis naskah bersama Paul Johnstone dan Ben Parker). Kombinasi kedua orang yang awam akan dunia film ini secara mengejutkan menghasilkan sebuah duet cukup mengesankan, melayangkan sebuah pesan pemberdayaan perempuan dan berdiri tegak dalam jajaran horor yang vokal melantangkan aksi #MeToo, disamping memberi pelajaran bagi para pria penganut ajaran patriarki.
CM Punk berperan sebagai Don Koch, pria yang baru saja membeli sebuah rumah di pinggiran kota Chicago demi mewujudkan kehidupan yang aman dan kondusif bagi masa depan dirinya dan keluarganya, terutama sang istri, Liz (Trieste Kelly Dun) yang tengah hamil tua. Rumah tua yang memiliki tiga lantai tersebut sedang dalam tahap renovasi-yang ingin dilakukan oleh Don sendiri. Don adalah seorang pria pengidap toxic masculinity, hidup dalam tanggungan sang istri dan terang-terangan membenci warna pink-yang semula dimiliki rumah tersebut.
Paruh awal durasi, kita akan mengikuti keseharian Don yang tengah melakukan renovasi, mulai dari membenarkan saluaran pipa mampet hingga membongkar dan mengecat ulang dinding. Sekilas, adegan tersebut terasa repetitif-namun dalam tangan Travis Stevens, penekanan repetisi keseharian Don adalah sebuah kesengajaan, kita selaku penonton diberikan sebuah pengembangan karakter Don yang kerap mendapat panggilan dari sang istri melalui video call-yang kerap menanyakan proses renovasi rumah-yang lantas dijawab Don baik-baik saja. Dari contoh tersebut, kita akan melihat akal bulus Don yang melanggar kesepakatan untuk tak minum alkohol, bahkan, Don diam-diam menyembunyikan perselingkuhannya bersama Sarah (Sarah Brooks) gadis setempat yang menaruh hati padanya.
Kehadiran Sarah menjadi gerbang pembuka terciptanya sebuah malapetaka. Stevens mulai membawa Girl on the Third Floor dalam identitasnya sebagai sajian horor. Menerapkan teknik slow-burn, filmnya menekankan sebuah kengeringan lewat pemandangan disturbing, memaerkan kreativitas Dan Martin (Nina Forever, Isle of Dogs, Free Fire) yang memilih menerapkan efek praktikal ketimbang pesta CGI, sementara keseluruhan filmnya mengambil pendekatan horror era 80-an.
Itulah mengapa deretan scary imageris melahirkan sebuah kengerian yang signifikan, terlebih lewat sosok perempuan yang dalam kredit filmnya dinamakan The Nymph yang sukses mengganggu pikiran. Sebelumnya, Stevens menghadirkan serangakain teror lewat cairan berupa likuid atau lendir berwarna putih yang menyiratkan sebuah pertanyaan, pun setelahnya disusul gambar mengerikan berupa rembesan lubang dinding yang membawa kesan menjijikan, dari sini, Girl on the Third Floor menampilkan tajinya dalam membawa genre horor.
Memasuki paruh kedua, Girl on the Third Floor tampil menggila, melipatgandakan serangan pula menangggalkan erangan bagi para tokohnya yang seolah dijemput kematian. Stevens menjadikan formula "haunted house" sebagai pondasi dalam melakukan sebuah modifikasi, tak perlu banyak sosok hantu, melainkan cukup memberikan sebuah jiwa bagi rumah tua yang memiliki entitas kelam dan menyeramkan.
Dalam debut perdananya, performa CM Punk tampil cukup diatas rata-rata, Punk sendiri sanggup melabeli karakter Don sebagai pria brengsek yang mengatasnamakan kejantanan diatas segalanya, menganggap remeh semua yang melekat pada kebiasaan perempuan, seperti yang ia lakukan terhadap janjinya pula olokan yang dilayangkan terhadap pastor yang berkelamin perempuan.
Seperti yang telah disinggung sedari awal, Girl on the Third Floor melayangkan sebuah pesan penting-yang meski hanya berjalan dipermukaan, naskahnya tersandung sebuah pengkhianatan kala ia mencoba mematikan satu karakter-yang nyaris bukan tujuan utamanya. Dari sini, timbul sebuah inkonsistensi-yang saya yakini adalah bentuk kebingungan penulisnya dalam menambal sentuhan horor utama. Tak masalah jika sedari awal tak menekan sebuah pesan, namun tampil fatal jika opsi tersebut sudah dipatenkan.
Di luar konteks tersebut, Girl on the Third Floor masih sebuah sajian horor yang menelanjangi pikiran pula perasaan, sembari memberikan sebuah hukuman atas sebuah konsekuensi yang dilakukan, terlebih bagi mereka para lelaki penganut budaya patriarki yang secara buta enggan menerima sangkalan, bersembunyi di bawah kerah kejantanan. Pesan tersebut sejatinya mulus tersampaikan, meski beragam pembenahan seharusnya bisa dilakukan.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar