Sebagai karya kedua dari sang sutradara sekaligus adaptasi ketujuh dari novel berjudul sama buatan Louisa May Alcott, Little Women meski tak menghadirkan sebuah modifikasi signifikan dari film sebelumnya tampil begitu menguatkan. Sebagai penulis sekaligus sutradara, Greta Gerwig menerapkan pola serupa film panjang pertamanya, Lady Bird, di mana drama mengenai rumah serta perjuangan meraih cita-cita dan cinta dirangkum lewat sudut pandang wanita dengan segala konsekuensi akhirnya, Little Women-sekali lagi, membawa sebuah pemberdayaan wanita di tengah sinisnya dunia yang kerap mengedepankan pria.
Protagonis utama filmnya bernama Jo March (Saoirse Ronan) anak tengah sekaligus penulis yang berjuang mempertahankan mimpi dan pandangannya sebagai wanita. Sekuen pembuka filmnya menampilkan sebuah pemandangan di mana Joe yang mengirimkan hasil tulisannya kepada surat kabar yang selalu menuntutnya, bahwa cerita tragis tak begitu menjual, tuntutan industri yang selalu menginginkan akhir bahagia (karakter protagonis wanita akhirnya menikah) lebih menarik pula menjual-yang mana banyak terjadi di lingkungan sekitar.
Selanjutnya, Little Women menerapkan pola non-linier dimana masa lalu dan masa sekarang tampil berdampingan mengisi adegan, di mana kita turut dikenalkan dengan saudara Joe lainnya: Meg (Emma Watson) si sulung yang mendambakan pernikahan bahagia, Beth (Eliza Scanlen) yang paling pendiam, yang berbakat dalam bermain piano, serta si bungsu Amy (Florence Pugh) yang paling manja dan bermimpi menjadi seorang pelukis. Keempatnya hidup satu atap bersama sang ibu, Marmee (Laura Dern) di tengah sang ayah yang sedang tugas dalam perang sipil. Kehidupan mereka semakin berwarna karena hadirnya, Laurie (Timothée Chalamet) tetangga keturunan bangsawan-yang memiliki pribadi menyenangkan.
Little Women tak ubahnya gambaran sebuah keluarga pada era 80-an dengan segala ke-khasannya. Rumah tak hanya dijadikan sebuah tempat berteduh, melainkan tempat tersusunnya beragam perbuatan yang nantinya terbungkus dalam sebuah tempat bernama kenangan. Greta Gerwig memaksimalkan kondisi tersebut lewat sebuah paparan hangat nan menguatkan, disamping sebagai tempat di mana para penonton bersimpat dan terenyuh terhadapnya.
Pemilihan alur non-linier tampil menguatkan (meski terkadang melemahkan akibat nihilnya sebuah jembatan bernama penjelasan) yang menghadirkan sebuah tautan yang saling bersinggungan. Masa remaja yang menyenangkan harus penuh perbedaan kala mereka menapaki realita seorang wanita dewasa-yang kemudian menampilkan sebuah pengadeganan solid terkait "napak tilas masa dan realita" yang terasa kompleks ketika filmnya menyelipkan sebuah studi karakter terhadapnya.
Memang, materi utamanya kelewat klasik, namun Gerwig-tak lantas membiarkannya tampil usang nan tak bertenaga, terdapat sebuah relevansi penting terhadap masa kini, khususnya terkait derajat wanita yang hilang kesempatan mengejar mimpinya lewat sebuah kejadian bernama pernikahan. Gerwig menentang anggapan tersebut, namun tak lantas mengutuknya, melainkan melakukan sebuah keseimbangan terkait keputusan menikah yang tanpa paksaan, melainkan murni atas rasa cinta dan kepercayaan.
Di tengah kehidupan sosial di mana sisi feminisme kerap diteriakkan-Little Women kembali masuk jajaran terhadap para wanita pejuang SJW-yang tak lantas membuatnya buta akan sebuah pandangan yang bersebrangan, karakterisasi Jo memang demikian-namun tak membuatnya benci akan sebuah perbedaan, Gerwig sadar betul terkait sebuah pandangan yang memunculkan sebuah perbedaan-yang tak ada salahnya jika kita melakukan sebuah keseimbangan-yang nantinya akan menghantarkan kita pada sebuah perdamaian.
Selama durasi 135 menit, Little Women memang enggan mengendurkan pedal gas dalam mode penceritaan, pengadeganan Gerwig terlampau cepat dalam membungkus pula mengkreasi adegan-yang mana sedikit mengurangi pengalaman akan hausnya sebuah perhatian bagi karakternya. Meski tak mengganggu, keputusan ini disisi lain mempunyai peranan positif terkait memadatkan durasi-yang mungkin akan sepenuhnya terpahami bagi mereka yang paham akan sumber asli, untuk penonton awam, diharuskan memasang konsentrasi tinggi.
Dari segi artistik, Little Women tampil cantik berkat kecerdikan Yorick Le Saux memainkan kamera yang menghasilkan sebuah mise-en-scène yang memanjakam mata pula menghasilkan sebuah rasa lewat sebuah tangkapan yang melibatkan jendela. Sekilas terlihat sederhana, namun Gerwig menjadikan jendela sebagai sebuah batas antara masa remaja dengan kehidupan realita dewasa. Semakin terasa kala scoring gubahan Alexandre Desplat (The King's Speech, Argo, The Grand Budapest Hotel) berjasa dalam melipatgandakan sebuah rasa lewat suara.
Little Woman memiliki jajaran pemain bertalenta pula tak diragukan lagi kemampuannya, Saoirse Ronan seperti biasa berjasa mengolah rasa, disamping penghantaran performa sempurna. Emma Watson memancarakan aura bintang lura biasa, Eliza Scanlen piawai menerjemahkan makna lewat mimik muka, Florence Pugh menghadirkan karakter menyebalkan-ditengah kenyataan yang selalu dinomorduakan, Lauran Dern menampilkan aroma keibuan,Timothée Chalamet adalah sosok yang menyenangkan di balik sebuah perasaan yang ia sembunyikan, sementara Meryl Streep adalah penyalur momen komedik, memerankan Bibi March-yang enggan berhenti berceloteh perihal keharusan menikahi pria kaya, yang sesekali menyinggung keluarga.
Little Women adalah perihal wanita yang mempertahankan cita-cita, meraih cinta pula menjalani kehidupan yang dinilai berharga menurutnya. Menjelang konklusi, Gerwig kembali meruntuhkan benteng perasaan lewat sebuah penuturan menelanjangi kehidupan yang penuh dengan kejutan yang tak seharusnya datang, namun, kehidupan tetaplah kehidupan yang tetap berjalan, yang harus disusuri guna menapaki sebuah kebahagiaan.
SCORE : 4/5
0 Komentar